Sekali lagi karya Joko
Pinurbo menjadi karya sastra pilihan Tempo. Ia mampu mengolah sudut pandang
anak-anak dengan permainan waktu yang memikat.
Di rumah itu mereka
tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu.
Berempat dengan buku.
Berlima dengan
televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan ibu
pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan
pernah berpisah bukan?”
Kita adalah cinta yang
berjihad melawan trauma.
Baris-baris kalimat itu
berasal dari sepotong puisi berjudul Jendela, tentang hubungan anak dan ibu
dari mata sang anak. Ada ungkapan polos sang anak (...”meluncur ke jeram sungai
yang dalam, byuuuuurr..."), ada kekhawatiran tentang perpisahan di masa
yang akan datang, dan ada permainan imaji (“siapa tahu bulan akan melompat ke
dalam/menerangi tidur mereka yang bersahaja...”).
Tengok
pula puisi Ulang Tahun ini
Ya, hari ini saya ulang
tahun ke-50.
Tahun besok saya akan
ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan
ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia
saya akan genap 17.
Kemudian saya akan
mencapai usia 9 tahun.
Dengan cerdik, Joko
Pinurbo menggunakan kepolosan anak-anak untuk berbicara tentang kematian.
Proses kematian dijabarkan secara terbalik, dari mengurangi angka umur manusia
hingga ke titik nol, saat belum dilahirkan. Dengan sudut pandang anak-anak,
Joko mampu mengolah kematian yang sesungguhnya serius itu menjadi nakal.
Ulang Tahun adalah
salah satu puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi berjudul Tahilalat.
Ini adalah buku terbaru Joko Pinurbo yang dipilih menjadi karya sastra pilihan
Tempo tahun 2012. Ini kedua kali Joko Pinurbo dipilih Tempo.
Menurut Melani
Budianta, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menjadi salah
satu juri sastra, keistimewaan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah dia memiliki
aspek seksualitas, sensualitas, banyak dimensi, juga hubungan dengan ibu yang
digarap dengan apik, dengan bahasa yang tidak pretensius.
Joko Pinurbo mulai memikat pembaca sastra
setelah terbitnya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku
(2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Kepada Cium (2007). Dari
karya-karya sebelumnya, Joko meraih sejumlah penghargaan. Buku kumpulan puisi
pertamanya, Celana, memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001. Buku puisi ini
kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia
juga mendapatkan Sih Award 2001 untuk trilogi puisi “Celana 1”, “Celana 2”,
“Celana 3”, dan penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk kumpulan puisi Di
Bawah Kibaran Sarung (2001). Pada 2005, Joko menerima Khatulistiwa Literary
Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004).
Lahir di Sukabumi, Jawa
Barat, 11 Mei 1962, sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Joko menulis
sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai penyair, lulusan IKIP Sanata
Dharma Jurusan Pendidikan dan Sastra ini menjelajahi banyak tema. Namun,
tahun-tahun terakhir, ia banyak menggeluti obyek keseharian seperti celana,
kamar mandi, atau bagian dari tubuh manusia. Semua diungkap dengan bahasa
sederhana tapi tetap kaya imajinasi (juga parodi), yang akhirnya jadi ciri
khasnya.
“Saya tidak suka
mengangkat tema yang berat, tapi yang umum dengan pendekatan metafor baru,
khususnya di Tahilalat ini,” kata ayah dua anak ini.
Dalam Tahilalat, Joko
tak hanya mampu mempertahankan kekuatan puitik yang menjadi ciri khasnya. Ia
juga mampu mengembangkan sudut pandang “dia liris” atau “aku liris” yang sangat
peka akan waktu dan generasi. Motif dalam kebanyakan puisinya adalah bagaimana
ia memberi kesempatan sepenuhnya pada kenaifan untuk menyuarakan dirinya
sendiri tanpa intervensi, tanpa interpretasi dari penulisnya. Itulah salah satu
keberhasilan Joko Pinurbo sebagai sastrawan.
Kepiawaian Joko
mengolah sudut pandang anak dengan amat menyentuh dan ketangkasannya
bermain-main dengan waktu-flashback dan rentang yang melompat-lompat – menjadi
alasan mengapa Tempo memilih Tahilalat sebagai buku sastra terbaik.
“Ini menambah kekuatan
kesederhanaan dan ekonomi kata-kata yang menjadi andalan Jokpin dalam
menciptakan ironi, ketaksaan, humor dan kedalaman makna dalam syair-syairnya,”
kata kritikus sastra Manneke Budiman, yang menjadi salah satu juri.
Tahilalat diikat pada
narasi besar soal hubungan manusia. Joko melihat perilaku manusia melalui
hubungan anak-ibu, anak-ayah, serta anak-ibu-ayah. Hubungan itu diangkat tidak
semata dalam konteks psikologis dan hubungan darah. Ia memainkan banyak metafor
untuk membolak-balik pola hubungan itu.
Bisa sebagai hubungan individu dengan Tuhan, warga negara dan negara, dan
lainnya.
Dalam puisi berjudul
Asu, misalnya, ia mengangkat idiom biasa dan mempermainkan kata itu: Di saat
yang membahayakan itu saya teringat Ayah/Dulu saya sering menemani Ayah
menulis/Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul/mesin ketiknya dan
mengumpat, “Asu!”/Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,/Ayah
tersenyum senang dan berseru, “Asu!”/Saat bertemu temannya di jalan/,Ayah dan
temannya dengan tangkas bertukar asu. Meski lokal dari bahasa Jawa, idiom asu
yang merujuk pada jenis hewan anjing sekaligus umpatan dan keakraban sapaan
kawan dekat itu kini sudah lazim digunakan di beberapa daerah Tanah Air.
Joko mengaku seperti
baru menamatkan ritual puasa panjang ketika buku itu akhirnya bisa diterbitkan.
Maklum, untuk menyelesaikan buku yang “hanya” memuat 55 puisi itu, dia
membutuhkan waktu tak kurang dari lima tahun, dari 2007 hingga 2012. “Tahilalat
benar-benar menguras saya,”katanya. Sepanjang 2007-2012, Joko hanya mencurahkan
waktunya untuk membuat puisi-puisi itu. Dalam setahun, mantan editor buku
pendidikan Grasindo itu rata-rata hanya menghasilkan 11 puisi.
Di buku yang
diterbitkan penerbit Omahsore Jakarta ini, penyair berusia 50 tahun itu terasa
lebih selektif pada karyanya sendiri. Ia tidak lagi longgar, vulgar, dan
terlalu prosais dalam mencipta rangkaian kata. “Saya lebih banyak pertimbangan.
Kalau belum matang benar ya tidak saya publikasikan. Tidak kejar tayang dua
tahun sekali, saya sedang tidak ada beban,” kata Joko, yang lebih banyak
menghabiskan waktunya untuk merenung demi menata logika puisi dan sistematika
ide puisi.
Selain lebih selektif,
Joko juga mengaku sering mengalami kebuntuan. Dalan satu hari, ia bisa hanya
mendapat satu baris kalimat. Jika satu puisi buntu di tengah jalan, biasanya ia
akan berpindah mengeksplorasi puisi yang lain. Puisi berjudul Kamar 1105,
misalnya. Gara-gara sering buntu di tengah jalan, puisi itu baru selesai
setelah dua tahun. Kamar 1105 merupakan sebuah sandi rekaan Joko yang merujuk
pada tanggal kelahirannya sendiri, 11 Mei. Dalam puisi itu Joko bertutur
tentang perputaran nasib manusia yang mirip perjudian.
Langkah Joko yang kian
hati-hati dalam membuat dan mempublikasikan puisi di Tahilalat dibayangi
kekhawatiran pada sebuah cap yang dirasa semakin melekat pada sosoknya. Ia pun
berupaya meninggalkan ikon “celana” seperti yang biasa digunakan dalam buku
kumpulan puisi sebelumnya. Hanya ada dua puisi dalam kumpulan Tahilalat yang
masih menyinggung soal celana, yakni Cenala dan Kredo Celana. “Kalau penyair
sudah terlanjur dicap dengan gaya tertentu, sebenarnya dia sudah mati. Saya tak
mau mati dan terjebak dengan stempel tertentu, itu mematikan kreativitas,”
katanya.
Untuk mengasah
kreativitas pula, setahun belakangan ini penyair yang menetap di Yogyakarta itu
kini gemar membuat puisi pendek dan mengunggahnya di Twitter. Rencananya, pada
Januari 2013, separuh dari 700 puisi yang sudah diunggah di jejaring sosial itu
akan diterbitkan dalam buku berjudul Puitwit. Buku itu sekaligus sebagai bukti
bahwa Joko mampu meramu puisi-puisi pendek yang menurut dia sangat menguras
otak. “Di puisi pendek saya belajar tentang efektivitas kata secara ketat.
Keblinger sedikit, bubar,” ujarnya.***
TEMPO, Edisi 7-13
Januari 2013