Jumat, 17 Mei 2013

Futsal Hiburan Alternatif Mahasiswa


Futsal Hiburan Alternatif Mahasiswa
Oleh: N Alfian A (17-05-13)

Sepak bola telah menjelma menjadi trend di semua kalangan. Apalagi ditunjang dengan adanya sepak bola mini atau biasa disebut futsal saat ini. Futsal telah menjelma menjadi kebutuhan sebagai sarana hiburan. Baik itu di kalangan orang tua dan remaja saat ini.

Dengan penduduknya yang mayoritas pendatang. Terutama kalangan pelajar. Yogyakarta tiap tahun kian meningkat jumlah penduduknya.  Memiliki sekitar 160 kampus negeri maupun swasta di berbagai wilayah DIY. Yogya kian menjelma menjadi lautan mahasiswa. Berbagai latar belakang mulai dari hobi dan kesukaan mengenai sepak bola. Menjadi dinamika tersendiri bagi semua mahasiswa. Mereka sering punya kumpulan untuk menyalurkan hobinya.  Yaitu main sepak bola. Meski sepak bola identik dengan lapangan besar. Kini dengan adanya futsal kian menjadi pengubah  sepak bola yang identik dengan lapangan besar.  

Dengan banyaknya lapangan futsal yang berkembang di Yogya saat ini. Futsal kian digandrungi kalangan remaja saat ini. Khususnya Pelajar dan Mahasiswa. Hampir setiap hari lapangan futsal disesaki para Mahasiswa. “Futsal bukan untuk olahraga saja, tapi futsal bisa menjadi pelapas penat dengan masalah perkuliahan” cetus Andi Prayoga Mahasiswa Sastra UNY. Di tengah hiruk-pikuk kuliah yang membuat otak Mahasiswa terkuras. Mungkin dengan main futsal bisa merefresh kembali otak yang lelah. Futsal kian menjadi budaya bagi Mahasiswa. Selain menyehatkan badan, futsal bisa manjadi hiburan tersendiri di kalangan Mahasasiswa saat ini.





Mahasiswa kian antusias dengan berkembangnya futsal saat ini. Hampir di berbagai kampus semua Mahasiswa punya tim-tim tersendiri untuk ngembangin permainannya. Dari yang dulunya tidak suka futsal. Kini suka main futsal karena ajakan teman-temannya. Seperti misalnya Yogi Irawan Mahasiswa UPN ini. “dulu saya jarang main sepak bola, tapi karena ajakan teman-teman untuk main futsal kini hampir tiap minggu sering main” imbunya.

Maraknya futsal yang berkembang di Yogya saat ini. Bisa menjadi bahan sandungan sendiri bagi Mahasiswa. Mahasiswa harus bisa membagi waktu yang baik. Bisa menaruh kapan mau main futsal dan kapan waktu untuk belajar. Hiburan harus melihat sisi di mana tuntutan menjadi akademisi harus terpenuhi dengan baik. Dengan main futsal harusnya Mahasiswa harus bisa meningkatkan mutu akadimiknya. Bukan dengan main futsal Mahasiswa malah bermalas-malasan ketika capek habis futsal.

Sarana hiburan yang berkembang saat ini jelas memiliki nilai positiv dan negative. Dengan adanya futsal Mahasiswa bukan melalaikan jati dirinya sebagai orang intelektual kelak nantinya. Futsal juga harus di jadikan penunjang prestasi akademik. Karena hampir tiap tahun ada turnamen futsal di berbagai wilayah di Yogya. “Turnamen Futsal bisa dijadikan ajang pembuktian, ketika prestasi di kampus jauh dari harpan”, kata Mahmud Riyadi Mahasiswa Sastra UNY.

Hal ini yang harus ditanamkan pada seluruh Mahasiswa. Selain bergerilya dengan aktifitas kampus. Mahasiswa yang suka main futsal harus punya ambisi. Yaitu berprestasi di atas lapangan. Ya dengan futsal harus bisa dijadikan peningkat mutu akademik. Berprestasi di akademik dan berprestasi di lapangan. Bukannya main futsal dijadikan malas-malasan untuk berprestasi di kampus.

Read More ->>

Pers Beretika Tempo Kini


Pers Beretika Tempo Kini
oleh : N Alfian A (09-05-13)

Matinya pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI melalui media-media pers pendukungnya. Perjalanan pers Indonesia kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Serta muncullah gebrakan baru yaitu Pers Pancasila. Penjelasan lebih mendalam mengenai Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi topik bahasan utama dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan peranan Pers Pancasila yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di Solo. Seminar yang diselenggarakan Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu antaralain telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan hidup Pancasila sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam melaksanakan atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu lembaga kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan tugasnya, Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas sosial yang konstruktif.
Disebutkan juga dalam rumusan hasil seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers Pancasila dimungkinkan apabila semua pihak yang terlibat dalam interaksi positif, yakni pers, pemerintah dan masyarakat ikut membina kondisi kerukunan, saling percaya mempercayai, berpandangan luas, saling menghormati dan kejujuran. Sejumlah pakar telah pula memberikan penambahan dan penajaman terhadap bagaimana sesungguhnya sikap dan perilaku Pers Pancasila.
Interaksi Dunia Pers
Bertalian dengan tantangan wartawan abad ke-21, sehubungan dengan peneguhan suatu etika pers yang berakar pada nilai-nilai etis bangsa, aturan-aturan atau tata permainan tersebut dapat dipertalikan dengan tindak tutur perlokutif, yakni tindak tutur orang yang karena ucapan dan tindakannya menyebabkan efek tertentu pada pendengarannya atau pembacanya, baik secara aktif maupun pasif. Di dalam perbincangan etika, hak tidak dapat hanya dipertalikan dengan masalah hokum dan politik sekalipun “mengatur” posisi manusia sebagai subjek hokum dan politik terhadap negera. Pasalnya, hak merupakan klaim moral yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Menurut Bertens (2004), orang yang mempunyai hak dapat menuntut (dan bukan hanya mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu. Sementara itu, kewajiban berkolerasi dengan hak karena setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain. Menurut John Stuart Mill (1806-1873), suatu kewajiban akan sempurna bila dilandaskan pada keadilan. Dalam hubungan ini, menurut Magnis Suseno (1987), hak dan kewajiban harus ditujukan dalam rangka keutamaan moral melalui prinsip sikap baik, prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Ketiga prinsip ini tentu perlu diuraikan secara eklektis mengingat wartawan tidak akan memiliki hak orang lain. Sebaliknya, orang lain juga akan kehilangan rasa keadilannya jika ia tidak mampu menghargai hak dan kewajiban wartawan.
Hak Moral dan Keutamaan Moral
            Melalui Sidang Pleno Dewan Pers di Solo pada 1984, pers Indonesia pernah mengikrarkan diri sebagai Pers Pancasila, yakni pers pembangunan yang orientasi sikap dan tingkah lakunya hendak didasarkan pada ideology Pancasila dan UUD 1945. Dampak hal ini, pada waktu itu eksistensi pers nasional hanya dipandang dari sudut dikotominya, yaitu (a) sebagai objek institusionalisme pers, yakni pers yang diarahkan menjadi institusi bisnis modern dan professional; dan (2) sebagai objek ideologisasi, yaitu pers yang diarahkan sebagai pengemban aspirasi kebangsaan atau pembawa pesan-pesan perjuangan nasional. Pemahaman bahwa Pers Pancasila identik dengan Pers Pembangunan dalam perspektif kritis tentulah mengandung kekeliruan epistemology. Istilah “Pers Pembangunan” itu sendiri, menurut Rachmadi (1990), lahir dari konsep komunikasi pembangunan yang dicetuskan UNESCO pada 1950-an. Konsep yang menggaris bawahi proses komunikasi melalui media massa itu meletakkan posisi pers sebagai agen perubahan (agent of change), dengan tujuan membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Oleh karena itu, Pers Pembangunan tidak hanya berperan sebagai penyebar informasi, tetapi juga diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan pendidikan masyarakat. Implikasi dari hal ini, pengarahan tersebut mestinya tidak otomatis menghilangkan fungsi control sosial pers. Akan tetapi, fungsi itu justru dihilangkan oleh rezim militer Orde Baru sehingga pers nasional ketika itu diarahkan sebagai Pers Pembangunan, dan sekaligus Pers Pancasila, yakni pers yang harus melulu memberitakan keberhasilan program Keluarga Berencana, program modernisasi pertanian, dan pidato-pidato para pejabat. Itu sebabnya, Pers Pembangunan berkolerasi dengan semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20. Dampak dari hal ini, hingga awal 1990-an tidak sedikit penerbitan pers yang SIUPP-nya dicabut dengan alas an “meresahkan masyarakat”, “mengganggu stabilitas nasional”, atau menyinggung kesukuan, agama, dan ras (SARA)”. Dengan demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa Pers Pancasila tidaklah identik dengan Pers Pemabangunan meskipun kenyataan ketika itu pers nasional cenderung tumbuh sebagai “pers alat merah” atau pers corong pemerintah.
            Hak dan kewajiban wartawan tidak dapat dianggap absolut mengingat perilaku etis individual wartawan Indonesia yang terkonteks secara sosial-historis dalam rangka meraih keutamaan moral. Di dalam sejarah pers nasional, perilaku etis wartawan pernah dicerminkan melalui upaya mereka dalam mengharmonikan idealism wartawan dengan institusionalisme pers, sehingga menurut mereka usaha penerbitan pers tidak terlalu bersifat kapitalistik. Oleh karena itu, perusahaan penerbitan pers harus dimiliki oleh karyawannya dengan cara kepemilikan saham. Jika saham suatu perusahaan penerbitan pers dimiliki seluruhnya oleh karyawan, kehaemonisan idealism wartawan dengan institusioanlisme pers dianggap mudah terwujud. Keharmonian ini, harus diupayakan melalui perusahaan berbentuk yayasan, sebab di dalam yayasan tidak ada pemegang saham secara nyata dan tidak pula dividen. Seluruh laba yayasan hanya dapat digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan pengembangan perusahaan.
            Dalam perspektif etis dewasa ini, hak dan kewajiban wartawan tidak dapat lagi dipangkalkan hanya dari kepatuhannya pada kode etik jurnalistik, misalnya dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi sehubungan dengan pemberitaan pers. Pasalnya kode etik tidak lagi berimpiklasi dengan fungsi dasar pers  sebagai watch dog, alat control sosial, yang di dalam paradigm masa lalu amat diyakini sebagai “roh”-nya pers. Hak dan tanggung jawab pers, sehubungan dengan “hak public untuk tahu”, hemat saya sudah diupayakan oleh pers nasional era Reformasi. Melelaui lokusi, ilokusi, dan terutama perlokusi yang dilakukan oleh surat kabar Kompas, khususnya berkenaan dengan pemberitaan di seputar Pemilu 2004, mengindikasikan bahwa hak dan tanggung jawab pers era Reformasi ditujukan demi pendidikan politik masyarakat dalam hal berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui, Pemilu 2004 dianggap sebagai fajar baru demokrasi Indonesia karena adanya pemilihan presiden secara langsung.
            Dalam hiruk-pikuk masa pra-Pemilu 2009, misalnya Kompas menyatakan bahwa Pemilu 2009 adalah pesta demokrasi. Layaknya pesta, maka pernyataan tersebut diwujudkan ke dalam berita utama, berita khusus, dan tajuk rencaca. Kebingungan rakyat terhadap sistem pemilu yang baru, maneuver politik dan ingar binger pencalonan presiden dan wakil presiden, harta kekayaan capres dan cawapres, keterwakilan perempuan di cabinet, kekhawatiran bangkitnya kekuatan militer dan rezim Orde Baru, kecemasan terhadapan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pesimisme terhadap calon anggota legislativ menjadi topik yang digarisbawahi. Dari kenyataan ini, ungkapan jurnalistik ketiga surat kabar tersebut ditengarai menonjolkan prinsip etis tentang bangkitnya fungsi pers sebagai wadah pendidikan bagi khlayak pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara meskipun di dalam praktiknya mereka tidak dapat melepaskan diri dari semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20, terutama dalam tata cara pemuatan iklan partai peserta pemilu. Sebagai catatan, tata cara ini bahkan dilakukan secara lebih intens menjelang Pemilu 2014.
Hak Publik untuk Tahu
            Istilah “hak publik untuk tahu”, yang biasanya digandengkan dengan istilah tanggung jawab pers, merujuk pada pergeseran paradigm lama mengenai kebebasan untuk pers. Kebebasan untuk pers, yang semula berada pada tataran individu, kemudian bergeser ke masyarakat menjadi kebebasan dari pers. Dalam perspektik etis, hak dan kewajiban wartawan Indonesia belum dianggap berkolerasi dengan “hak publik untuk tahu”. Itu sebabnya, pers nasional sejak Reformasi kerap dikesankan keblabasan, atau “tidak punya rem”, karena sangat liberal dan keliberalannya melibihi Negara demokrasi liberal Barat sekalipun, seperti terlihat pada pemakaian ungkapan jurnalistik yang daya perlokutifnya merujuk pada hal-hal yang vulgar, sadis, cabul, atau yang mengandung opini pribadi. Sebagaimana telah disinggung, kebnayakan pengamat pers nasional bahkan memercayai bahwa liberalitas pers Indonesia itu merupakan cermin pergeseran tata nilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berjalan parallel dengan lahirnya gerakan reformasi. Merka ini juga memercayai bahwa semangat yang melandasi gerakan reformasi adalah kebebasan berbeda pendapat yang makin terbuka, pasar yang kian kompetitif, dan terbangunnya kesadaran pluralism etis bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari kehidupan mondial. Dengan demikian, terjadi pula perubahan makna istilah kebebasan pers, yang semula dimaknai “kebebasan untuk pers” menjadi “kebebasan dari pers”. Kebebasan dari pers adalah terlepasnya public dari tekanan, paksaan, atau terror yang dilakukan oleh pers karena public memang berhak tahu.
            Kebebasan eksistensinya dan tanggung jawab etis wartawan oleh karena itu tidaklah berada di awing-awang. Dari sudut tentang wartawan Indonesia abad ke-21, kebebasan eksistensial dan tanggung jawab menyeluruh yang terkonteks dengan kepribadian bangsa. Kita mungkin sering melupakan bahwa hak dan kewajiban wartawan, yang merupakan cerminan kebebasan eksistensial dan tanggung jawab etis wartawan, harus berakar pada nilai-nilai etis bangsa karena pada dasarnya suatu pers adalah refleksi kehidupan etis suatu masyarakat. Hak dan kewajiban wartawan, sebagaimana dicerminkan dari sejarah pers nasional, sebenarnya juga bukan persoalan yang baru meskipun terkunci di dalam praktik ideologisasi dan institusionalisme pers. 
Read More ->>

Kamis, 16 Mei 2013

Joko Pinurbo dan Tahi Lala


Sekali lagi karya Joko Pinurbo menjadi karya sastra pilihan Tempo. Ia mampu mengolah sudut pandang anak-anak dengan permainan waktu yang memikat.

Di rumah itu mereka tinggal berdua.
Bertiga dengan waktu. Berempat dengan buku.
Berlima dengan televisi. Bersendiri dengan puisi.
“Suatu hari aku dan ibu pasti tak bisa lagi bersama.”
“Tapi kita tak akan pernah berpisah bukan?”
Kita adalah cinta yang berjihad melawan trauma.

Baris-baris kalimat itu berasal dari sepotong puisi berjudul Jendela, tentang hubungan anak dan ibu dari mata sang anak. Ada ungkapan polos sang anak (...”meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuuuurr..."), ada kekhawatiran tentang perpisahan di masa yang akan datang, dan ada permainan imaji (“siapa tahu bulan akan melompat ke dalam/menerangi tidur mereka yang bersahaja...”).

Tengok pula puisi Ulang Tahun ini
Ya, hari ini saya ulang tahun ke-50.
Tahun besok saya akan ulang tahun ke-49.
Tahun lusa saya akan ulang tahun ke-48.
Sekian tahun lagi usia saya akan genap 17.
Kemudian saya akan mencapai usia 9 tahun.

Dengan cerdik, Joko Pinurbo menggunakan kepolosan anak-anak untuk berbicara tentang kematian. Proses kematian dijabarkan secara terbalik, dari mengurangi angka umur manusia hingga ke titik nol, saat belum dilahirkan. Dengan sudut pandang anak-anak, Joko mampu mengolah kematian yang sesungguhnya serius itu menjadi nakal.

Ulang Tahun adalah salah satu puisi yang terangkum dalam buku kumpulan puisi berjudul Tahilalat. Ini adalah buku terbaru Joko Pinurbo yang dipilih menjadi karya sastra pilihan Tempo tahun 2012. Ini kedua kali Joko Pinurbo dipilih Tempo.

Menurut Melani Budianta, guru besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI yang menjadi salah satu juri sastra, keistimewaan puisi-puisi Joko Pinurbo adalah dia memiliki aspek seksualitas, sensualitas, banyak dimensi, juga hubungan dengan ibu yang digarap dengan apik, dengan bahasa yang tidak pretensius.

Joko Pinurbo mulai memikat pembaca sastra setelah terbitnya Celana (1999), Di Bawah Kibaran Sarung (2001), Pacarkecilku (2002), Telepon Genggam (2003), Kekasihku (2004), dan Kepada Cium (2007). Dari karya-karya sebelumnya, Joko meraih sejumlah penghargaan. Buku kumpulan puisi pertamanya, Celana, memperoleh Hadiah Sastra Lontar 2001. Buku puisi ini kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul Trouser Doll (2002). Ia juga mendapatkan Sih Award 2001 untuk trilogi puisi “Celana 1”, “Celana 2”, “Celana 3”, dan penghargaan Sastra Pusat Bahasa 2002 untuk kumpulan puisi Di Bawah Kibaran Sarung (2001). Pada 2005, Joko menerima Khatulistiwa Literary Award untuk antologi puisi Kekasihku (2004).

Lahir di Sukabumi, Jawa Barat, 11 Mei 1962, sebagai anak sulung dari lima bersaudara, Joko menulis sejak ia duduk di bangku sekolah dasar. Sebagai penyair, lulusan IKIP Sanata Dharma Jurusan Pendidikan dan Sastra ini menjelajahi banyak tema. Namun, tahun-tahun terakhir, ia banyak menggeluti obyek keseharian seperti celana, kamar mandi, atau bagian dari tubuh manusia. Semua diungkap dengan bahasa sederhana tapi tetap kaya imajinasi (juga parodi), yang akhirnya jadi ciri khasnya.

“Saya tidak suka mengangkat tema yang berat, tapi yang umum dengan pendekatan metafor baru, khususnya di Tahilalat ini,” kata ayah dua anak ini.

Dalam Tahilalat, Joko tak hanya mampu mempertahankan kekuatan puitik yang menjadi ciri khasnya. Ia juga mampu mengembangkan sudut pandang “dia liris” atau “aku liris” yang sangat peka akan waktu dan generasi. Motif dalam kebanyakan puisinya adalah bagaimana ia memberi kesempatan sepenuhnya pada kenaifan untuk menyuarakan dirinya sendiri tanpa intervensi, tanpa interpretasi dari penulisnya. Itulah salah satu keberhasilan Joko Pinurbo sebagai sastrawan.

Kepiawaian Joko mengolah sudut pandang anak dengan amat menyentuh dan ketangkasannya bermain-main dengan waktu-flashback dan rentang yang melompat-lompat – menjadi alasan mengapa Tempo memilih Tahilalat sebagai buku sastra terbaik.
“Ini menambah kekuatan kesederhanaan dan ekonomi kata-kata yang menjadi andalan Jokpin dalam menciptakan ironi, ketaksaan, humor dan kedalaman makna dalam syair-syairnya,” kata kritikus sastra Manneke Budiman, yang menjadi salah satu juri.

Tahilalat diikat pada narasi besar soal hubungan manusia. Joko melihat perilaku manusia melalui hubungan anak-ibu, anak-ayah, serta anak-ibu-ayah. Hubungan itu diangkat tidak semata dalam konteks psikologis dan hubungan darah. Ia memainkan banyak metafor untuk membolak-balik pola hubungan  itu. Bisa sebagai hubungan individu dengan Tuhan, warga negara dan negara, dan lainnya.
Dalam puisi berjudul Asu, misalnya, ia mengangkat idiom biasa dan mempermainkan kata itu: Di saat yang membahayakan itu saya teringat Ayah/Dulu saya sering menemani Ayah menulis/Sesekali Ayah terlihat kesal, memukul-mukul/mesin ketiknya dan mengumpat, “Asu!”/Kali lain, saat menemukan puisi bagus di koran,/Ayah tersenyum senang dan berseru, “Asu!”/Saat bertemu temannya di jalan/,Ayah dan temannya dengan tangkas bertukar asu. Meski lokal dari bahasa Jawa, idiom asu yang merujuk pada jenis hewan anjing sekaligus umpatan dan keakraban sapaan kawan dekat itu kini sudah lazim digunakan di beberapa daerah Tanah Air.

Joko mengaku seperti baru menamatkan ritual puasa panjang ketika buku itu akhirnya bisa diterbitkan. Maklum, untuk menyelesaikan buku yang “hanya” memuat 55 puisi itu, dia membutuhkan waktu tak kurang dari lima tahun, dari 2007 hingga 2012. “Tahilalat benar-benar menguras saya,”katanya. Sepanjang 2007-2012, Joko hanya mencurahkan waktunya untuk membuat puisi-puisi itu. Dalam setahun, mantan editor buku pendidikan Grasindo itu rata-rata hanya menghasilkan 11 puisi.
Di buku yang diterbitkan penerbit Omahsore Jakarta ini, penyair berusia 50 tahun itu terasa lebih selektif pada karyanya sendiri. Ia tidak lagi longgar, vulgar, dan terlalu prosais dalam mencipta rangkaian kata. “Saya lebih banyak pertimbangan. Kalau belum matang benar ya tidak saya publikasikan. Tidak kejar tayang dua tahun sekali, saya sedang tidak ada beban,” kata Joko, yang lebih banyak menghabiskan waktunya untuk merenung demi menata logika puisi dan sistematika ide puisi.

Selain lebih selektif, Joko juga mengaku sering mengalami kebuntuan. Dalan satu hari, ia bisa hanya mendapat satu baris kalimat. Jika satu puisi buntu di tengah jalan, biasanya ia akan berpindah mengeksplorasi puisi yang lain. Puisi berjudul Kamar 1105, misalnya. Gara-gara sering buntu di tengah jalan, puisi itu baru selesai setelah dua tahun. Kamar 1105 merupakan sebuah sandi rekaan Joko yang merujuk pada tanggal kelahirannya sendiri, 11 Mei. Dalam puisi itu Joko bertutur tentang perputaran nasib manusia yang mirip perjudian.

Langkah Joko yang kian hati-hati dalam membuat dan mempublikasikan puisi di Tahilalat dibayangi kekhawatiran pada sebuah cap yang dirasa semakin melekat pada sosoknya. Ia pun berupaya meninggalkan ikon “celana” seperti yang biasa digunakan dalam buku kumpulan puisi sebelumnya. Hanya ada dua puisi dalam kumpulan Tahilalat yang masih menyinggung soal celana, yakni Cenala dan Kredo Celana. “Kalau penyair sudah terlanjur dicap dengan gaya tertentu, sebenarnya dia sudah mati. Saya tak mau mati dan terjebak dengan stempel tertentu, itu mematikan kreativitas,” katanya.
Untuk mengasah kreativitas pula, setahun belakangan ini penyair yang menetap di Yogyakarta itu kini gemar membuat puisi pendek dan mengunggahnya di Twitter. Rencananya, pada Januari 2013, separuh dari 700 puisi yang sudah diunggah di jejaring sosial itu akan diterbitkan dalam buku berjudul Puitwit. Buku itu sekaligus sebagai bukti bahwa Joko mampu meramu puisi-puisi pendek yang menurut dia sangat menguras otak. “Di puisi pendek saya belajar tentang efektivitas kata secara ketat. Keblinger sedikit, bubar,” ujarnya.***

TEMPO, Edisi 7-13 Januari 2013
Read More ->>

Minggu, 12 Mei 2013

Coretan Emha Ainun Najib


Menangis
Oleh : Emha Ainun Najib

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.
Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat “iyyaka na’budu….”. Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.
Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa iyyaka nasta’in….”
Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.
“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar”, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. Harus di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu”.
“Astaghfimllah, astaghfirullah”, geremang turut menangis mulut parasantri.
“Jadi, anak-anakku”, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita dalam rnengucapkan kepada Allah iyyaka na’budu?”
“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.
“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan”.
“Belum jelas benar bagiku, Abah”.
“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan”. “Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu”.
“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari ‘abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na’budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?”
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri.
“Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah”.
“Astaghfirullah, astaghfirullah”, gemeremang para santri.
“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya!”
Read More ->>

Jumat, 03 Mei 2013

Tirani Sosial


Tirani Sosial
Oleh : N Alfian A


Hahh semua telah terlena akan status sosial
Buta akan sebuah kenikamatan
Menghalalkan yang buruk menjadi jelek
Ingin selalu dipandang tingkat rasionalnya
Di sapa dengan gelar-gelarnya
Kenapa itu sifat manusia
Apa mereka hidup untuk di sanjung
Muak saya melihat fenomena itu
Dan itu di mulai dari pendidikannya
Mereka menempuh dari berbagai jalur
Curang, bersih, bahkan kotor itu lah perjuangan
Meningkat mutu untuk kepentingan
Bahkan salah pengartian tak merubah kesadaran
Kesadaran berpikir merajut sukma dari kebodohan
Menghayal menyalurkan ragam jiwa
Semua itu tak terelakkan
Demi sebuah status bodoh untuk rasional
Lingkup kehidupan hanya untuk berkuasa
Memimpin lebih baik dari pada dipimpin
Termontang-manting jerih payah keinginan
Ingin berkuasa otak tak kuat menrasioanalkan
Gila menjadi akhir segala perbuatan
Tergusur oleh rona-rona diambang tirani kesesalan
Terhanyut dalam ombang ambing kicauh human
Saya muak akan status sosial
Hidup jauh tirani perorangan
Tenang dalam gangguan kekejaman
Hanyut dalam alunan ketentraman
Lebih rendah dalam kesetaraan
Tapi tak rendah untuk kembali rembulan
Alam sadar membawa sukma dalam ronai keindahan

(Yogyakarta, 4 Mei 2013, 02:29)
Read More ->>

Kamis, 02 Mei 2013

Wajah-wajah Penghias Sosialisasi PASYO 2013

Sejauh ini Sosialisasi menjadi sarana komunikasi yang paling efektik bagi kalangan alumni-alumni MA Salafiyah. Selain menjadi sarana silaturahmi untuk menjaga elaktibiltas murid dengan gurunya. Sosialisasi juga sebagai spritual bagi adik-adik yang akan menempuh jenjang pendidikan selanjutnya. Inilah wajah-wajah penghias sosialisasi PASYO (Paguyuban Alumni Salafiyah Yogyakarta)














Read More ->>

Simpatikan Uje Keuntungan Media


Simpatikan Uje Keuntungan Media
Oleh : Noor Alfian Asslam


Indonesia berduka. Kehilangan putra terbaiknya pada Jumat (26/4) sekitar pukul 02.00 WIB. Ustadz Jeffry Al-Buchori atau yang biasa disapa Uje wafat dalam kecelakaan tunggal di Bilangan Jalan Gedong Hijau Pondok Indah Jakarta Selatan. Jelas ini menjadi pukulan yang sangat mendalam bagi keluarga, sahabat, maupun orang yang mengenalnya. Seperti yang pernah kita ketahui, bahsa sosok Uje merupakan seorang inspirator bagi semua kalangan yang sangat mengenalnya. Hal ini bisa dibuktikan bahwa, ketika masyarakat sangat butuh pencerahan dan keteladanan. Uje hadir sebagai ikon perubahan yang mampu memberikan harapan generasi massa depan.
Wafatnya Uje telah menjadi buah bibir diberbagai kalangan. Dan tak lepas dari sasaran media. Sehingga menjadikan sebuah fenomena tersendiri bagi sebuah media. Inilah yang harus dihindari. Media telah memanfaatkan aspek simpatikan menjadi keuntungan. Itulah yang dimanfaatkan industry pertelevisian. Hampir setiap hari Televisi menayangkan pelbagai hal mengenai Uje. Mulai dari dulu waktu remaja, bahkan mengenai aktiftas yang pernah dilampauinya. Lewat kemasan yang menarik, media telah merubah hasi cipta karya menjadi penuh rasa simpati. Rasa simpatikan terus mengalir dari berbagai khalayak. Memang hal itu sudah menjadi sewajarnya. Karena kita tahu sosok Uje merupakan inspirator bagi mereka yang mengenalnya. Baik itu lewat media maupun teman dekatnya.
Uje merupakan sosok panutan. Beliau juga sering dekat dengan semua kalangan. Mulai dari artis, pengusaha, pejabat bahkan anak jalanan. Dengan sosoknya yang begitu arif dengan semua kalangan. Hal ini lah yang membuat ribuan pelayat hadir mengiringi pemakaman jenazahnya. Melihat hal ini tak sepantasnya media memanfaatkan kepedihan menjadi keuntungan. Hamper dari pagi hingga malam. Media tak pernah lepas untuk selalu memberitakan lewat media popular. Infotaiment memanfaatkan benar hal ini. Media mendramatisir kematian Uje dengan menyoroti semua hal yang terkait dengan aktifitas apa saja yang ia lakukan sebelum kematiannya. Lalu menjadikan pemberitaan bercampur dengan industry gosip yang kini telah menjadi ritual harian tontonan televisi. 
Dengan semacam pemberitaan seperti itu. Semakin memperkokoh tak ada bedanya kematian ustadz dengan artis. Komentar keluarga, kerabat maupun dari berbagai kalangan. Ikut juga meningkatkan rating pemberitaan. Bahkan menjadikan degadrasi pemberitaan  media mengenai kasus-kasus sebelumnya. Beliau sangat di agungkan setinggi langit oleh media. Lewat pemberitaan sensasional tantang setiap gerak-geriknya. Meski akhirnya ia sendiri “tewas” oleh media.  Meski tak aka nada seorang yang berani membantah. Bahwa sebab kematiannya itu masih menyimpan sejuta pernyataan. Media telah merubah rasa simpati khalayak menjadi keuntungan. Untuk itulah infotaiment atau media popular bertambah popularitasnya.
Sosok beliau memang popular di berbagai kalangan. Apakah semua itu wajar bila setiap hari media selalu memberitakan sosok beliau? Fenomena semacam ini yang menjadikan media global menjadi digdaya. Media telah mempengaruhi khalayak. Hal ini bisa dibuktikan. Bahwa berbagai anggapan kepitalisme media bisa mendukung komoditas pemberitaan. Merubah khalayak bahwa pemberitaan media fakta adanya.
Seharusnya media memberitakan sewajarnya. Memang sosok beliau sangat dikenal diberbagai kalangan. Tapi ini kan berita duka. Tak sepantasnya media mencari keuntungan. Mendramatisir pemberintaan terus menerus. tak perlu mengumbar berita duka. Karena khalayak juga tahu sosok beliau. Mendoakan beliau dengan hal yang baik. Lebih baik dari pada untuk mengumbar pemberitaan yang tak berguna. 
Read More ->>
Diberdayakan oleh Blogger.