Jumat, 17 Mei 2013

Pers Beretika Tempo Kini


Pers Beretika Tempo Kini
oleh : N Alfian A (09-05-13)

Matinya pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI melalui media-media pers pendukungnya. Perjalanan pers Indonesia kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Serta muncullah gebrakan baru yaitu Pers Pancasila. Penjelasan lebih mendalam mengenai Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi topik bahasan utama dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan peranan Pers Pancasila yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di Solo. Seminar yang diselenggarakan Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu antaralain telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan hidup Pancasila sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam melaksanakan atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu lembaga kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan tugasnya, Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas sosial yang konstruktif.
Disebutkan juga dalam rumusan hasil seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers Pancasila dimungkinkan apabila semua pihak yang terlibat dalam interaksi positif, yakni pers, pemerintah dan masyarakat ikut membina kondisi kerukunan, saling percaya mempercayai, berpandangan luas, saling menghormati dan kejujuran. Sejumlah pakar telah pula memberikan penambahan dan penajaman terhadap bagaimana sesungguhnya sikap dan perilaku Pers Pancasila.
Interaksi Dunia Pers
Bertalian dengan tantangan wartawan abad ke-21, sehubungan dengan peneguhan suatu etika pers yang berakar pada nilai-nilai etis bangsa, aturan-aturan atau tata permainan tersebut dapat dipertalikan dengan tindak tutur perlokutif, yakni tindak tutur orang yang karena ucapan dan tindakannya menyebabkan efek tertentu pada pendengarannya atau pembacanya, baik secara aktif maupun pasif. Di dalam perbincangan etika, hak tidak dapat hanya dipertalikan dengan masalah hokum dan politik sekalipun “mengatur” posisi manusia sebagai subjek hokum dan politik terhadap negera. Pasalnya, hak merupakan klaim moral yang dibuat oleh orang atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Menurut Bertens (2004), orang yang mempunyai hak dapat menuntut (dan bukan hanya mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati hak itu. Sementara itu, kewajiban berkolerasi dengan hak karena setiap kewajiban seseorang berkaitan dengan hak orang lain. Menurut John Stuart Mill (1806-1873), suatu kewajiban akan sempurna bila dilandaskan pada keadilan. Dalam hubungan ini, menurut Magnis Suseno (1987), hak dan kewajiban harus ditujukan dalam rangka keutamaan moral melalui prinsip sikap baik, prinsip keadilan, dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Ketiga prinsip ini tentu perlu diuraikan secara eklektis mengingat wartawan tidak akan memiliki hak orang lain. Sebaliknya, orang lain juga akan kehilangan rasa keadilannya jika ia tidak mampu menghargai hak dan kewajiban wartawan.
Hak Moral dan Keutamaan Moral
            Melalui Sidang Pleno Dewan Pers di Solo pada 1984, pers Indonesia pernah mengikrarkan diri sebagai Pers Pancasila, yakni pers pembangunan yang orientasi sikap dan tingkah lakunya hendak didasarkan pada ideology Pancasila dan UUD 1945. Dampak hal ini, pada waktu itu eksistensi pers nasional hanya dipandang dari sudut dikotominya, yaitu (a) sebagai objek institusionalisme pers, yakni pers yang diarahkan menjadi institusi bisnis modern dan professional; dan (2) sebagai objek ideologisasi, yaitu pers yang diarahkan sebagai pengemban aspirasi kebangsaan atau pembawa pesan-pesan perjuangan nasional. Pemahaman bahwa Pers Pancasila identik dengan Pers Pembangunan dalam perspektif kritis tentulah mengandung kekeliruan epistemology. Istilah “Pers Pembangunan” itu sendiri, menurut Rachmadi (1990), lahir dari konsep komunikasi pembangunan yang dicetuskan UNESCO pada 1950-an. Konsep yang menggaris bawahi proses komunikasi melalui media massa itu meletakkan posisi pers sebagai agen perubahan (agent of change), dengan tujuan membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat modern. Oleh karena itu, Pers Pembangunan tidak hanya berperan sebagai penyebar informasi, tetapi juga diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan pendidikan masyarakat. Implikasi dari hal ini, pengarahan tersebut mestinya tidak otomatis menghilangkan fungsi control sosial pers. Akan tetapi, fungsi itu justru dihilangkan oleh rezim militer Orde Baru sehingga pers nasional ketika itu diarahkan sebagai Pers Pembangunan, dan sekaligus Pers Pancasila, yakni pers yang harus melulu memberitakan keberhasilan program Keluarga Berencana, program modernisasi pertanian, dan pidato-pidato para pejabat. Itu sebabnya, Pers Pembangunan berkolerasi dengan semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20. Dampak dari hal ini, hingga awal 1990-an tidak sedikit penerbitan pers yang SIUPP-nya dicabut dengan alas an “meresahkan masyarakat”, “mengganggu stabilitas nasional”, atau menyinggung kesukuan, agama, dan ras (SARA)”. Dengan demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa Pers Pancasila tidaklah identik dengan Pers Pemabangunan meskipun kenyataan ketika itu pers nasional cenderung tumbuh sebagai “pers alat merah” atau pers corong pemerintah.
            Hak dan kewajiban wartawan tidak dapat dianggap absolut mengingat perilaku etis individual wartawan Indonesia yang terkonteks secara sosial-historis dalam rangka meraih keutamaan moral. Di dalam sejarah pers nasional, perilaku etis wartawan pernah dicerminkan melalui upaya mereka dalam mengharmonikan idealism wartawan dengan institusionalisme pers, sehingga menurut mereka usaha penerbitan pers tidak terlalu bersifat kapitalistik. Oleh karena itu, perusahaan penerbitan pers harus dimiliki oleh karyawannya dengan cara kepemilikan saham. Jika saham suatu perusahaan penerbitan pers dimiliki seluruhnya oleh karyawan, kehaemonisan idealism wartawan dengan institusioanlisme pers dianggap mudah terwujud. Keharmonian ini, harus diupayakan melalui perusahaan berbentuk yayasan, sebab di dalam yayasan tidak ada pemegang saham secara nyata dan tidak pula dividen. Seluruh laba yayasan hanya dapat digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan pengembangan perusahaan.
            Dalam perspektif etis dewasa ini, hak dan kewajiban wartawan tidak dapat lagi dipangkalkan hanya dari kepatuhannya pada kode etik jurnalistik, misalnya dalam memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi sehubungan dengan pemberitaan pers. Pasalnya kode etik tidak lagi berimpiklasi dengan fungsi dasar pers  sebagai watch dog, alat control sosial, yang di dalam paradigm masa lalu amat diyakini sebagai “roh”-nya pers. Hak dan tanggung jawab pers, sehubungan dengan “hak public untuk tahu”, hemat saya sudah diupayakan oleh pers nasional era Reformasi. Melelaui lokusi, ilokusi, dan terutama perlokusi yang dilakukan oleh surat kabar Kompas, khususnya berkenaan dengan pemberitaan di seputar Pemilu 2004, mengindikasikan bahwa hak dan tanggung jawab pers era Reformasi ditujukan demi pendidikan politik masyarakat dalam hal berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui, Pemilu 2004 dianggap sebagai fajar baru demokrasi Indonesia karena adanya pemilihan presiden secara langsung.
            Dalam hiruk-pikuk masa pra-Pemilu 2009, misalnya Kompas menyatakan bahwa Pemilu 2009 adalah pesta demokrasi. Layaknya pesta, maka pernyataan tersebut diwujudkan ke dalam berita utama, berita khusus, dan tajuk rencaca. Kebingungan rakyat terhadap sistem pemilu yang baru, maneuver politik dan ingar binger pencalonan presiden dan wakil presiden, harta kekayaan capres dan cawapres, keterwakilan perempuan di cabinet, kekhawatiran bangkitnya kekuatan militer dan rezim Orde Baru, kecemasan terhadapan kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan pesimisme terhadap calon anggota legislativ menjadi topik yang digarisbawahi. Dari kenyataan ini, ungkapan jurnalistik ketiga surat kabar tersebut ditengarai menonjolkan prinsip etis tentang bangkitnya fungsi pers sebagai wadah pendidikan bagi khlayak pembacanya dalam hal berbangsa dan bernegara meskipun di dalam praktiknya mereka tidak dapat melepaskan diri dari semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20, terutama dalam tata cara pemuatan iklan partai peserta pemilu. Sebagai catatan, tata cara ini bahkan dilakukan secara lebih intens menjelang Pemilu 2014.
Hak Publik untuk Tahu
            Istilah “hak publik untuk tahu”, yang biasanya digandengkan dengan istilah tanggung jawab pers, merujuk pada pergeseran paradigm lama mengenai kebebasan untuk pers. Kebebasan untuk pers, yang semula berada pada tataran individu, kemudian bergeser ke masyarakat menjadi kebebasan dari pers. Dalam perspektik etis, hak dan kewajiban wartawan Indonesia belum dianggap berkolerasi dengan “hak publik untuk tahu”. Itu sebabnya, pers nasional sejak Reformasi kerap dikesankan keblabasan, atau “tidak punya rem”, karena sangat liberal dan keliberalannya melibihi Negara demokrasi liberal Barat sekalipun, seperti terlihat pada pemakaian ungkapan jurnalistik yang daya perlokutifnya merujuk pada hal-hal yang vulgar, sadis, cabul, atau yang mengandung opini pribadi. Sebagaimana telah disinggung, kebnayakan pengamat pers nasional bahkan memercayai bahwa liberalitas pers Indonesia itu merupakan cermin pergeseran tata nilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berjalan parallel dengan lahirnya gerakan reformasi. Merka ini juga memercayai bahwa semangat yang melandasi gerakan reformasi adalah kebebasan berbeda pendapat yang makin terbuka, pasar yang kian kompetitif, dan terbangunnya kesadaran pluralism etis bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian dari kehidupan mondial. Dengan demikian, terjadi pula perubahan makna istilah kebebasan pers, yang semula dimaknai “kebebasan untuk pers” menjadi “kebebasan dari pers”. Kebebasan dari pers adalah terlepasnya public dari tekanan, paksaan, atau terror yang dilakukan oleh pers karena public memang berhak tahu.
            Kebebasan eksistensinya dan tanggung jawab etis wartawan oleh karena itu tidaklah berada di awing-awang. Dari sudut tentang wartawan Indonesia abad ke-21, kebebasan eksistensial dan tanggung jawab menyeluruh yang terkonteks dengan kepribadian bangsa. Kita mungkin sering melupakan bahwa hak dan kewajiban wartawan, yang merupakan cerminan kebebasan eksistensial dan tanggung jawab etis wartawan, harus berakar pada nilai-nilai etis bangsa karena pada dasarnya suatu pers adalah refleksi kehidupan etis suatu masyarakat. Hak dan kewajiban wartawan, sebagaimana dicerminkan dari sejarah pers nasional, sebenarnya juga bukan persoalan yang baru meskipun terkunci di dalam praktik ideologisasi dan institusionalisme pers. 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.