Pers Beretika Tempo Kini
oleh : N Alfian A (09-05-13)
Matinya
pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat
ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan
terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya
tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers
yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI
melalui media-media pers pendukungnya. Perjalanan pers Indonesia kembali
memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan
melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan disahkannya
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di
dalam Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden
Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat
dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan
yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan
Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada
di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat
revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk
pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal
revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara
aktif dan kreatif.
Serta
muncullah gebrakan baru yaitu Pers Pancasila. Penjelasan lebih mendalam
mengenai Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi topik
bahasan utama dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan peranan Pers
Pancasila yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di Solo. Seminar
yang diselenggarakan Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia
(PWI) itu antaralain telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan
hidup Pancasila sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam
melaksanakan atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu
lembaga kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan
tugasnya, Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam
menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif,
penyalur aspirasi masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas
sosial yang konstruktif.
Disebutkan
juga dalam rumusan hasil seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers
Pancasila dimungkinkan apabila semua pihak yang terlibat dalam interaksi
positif, yakni pers, pemerintah dan masyarakat ikut membina kondisi kerukunan,
saling percaya mempercayai, berpandangan luas, saling menghormati dan
kejujuran. Sejumlah pakar telah pula memberikan penambahan dan penajaman terhadap
bagaimana sesungguhnya sikap dan perilaku Pers Pancasila.
Interaksi
Dunia Pers
Bertalian
dengan tantangan wartawan abad ke-21, sehubungan dengan peneguhan suatu etika
pers yang berakar pada nilai-nilai etis bangsa, aturan-aturan atau tata permainan
tersebut dapat dipertalikan dengan tindak tutur perlokutif, yakni tindak tutur
orang yang karena ucapan dan tindakannya menyebabkan efek tertentu pada
pendengarannya atau pembacanya, baik secara aktif maupun pasif. Di dalam
perbincangan etika, hak tidak dapat hanya dipertalikan dengan masalah hokum dan
politik sekalipun “mengatur” posisi manusia sebagai subjek hokum dan politik
terhadap negera. Pasalnya, hak merupakan klaim moral yang dibuat oleh orang
atau kelompok yang satu terhadap yang lain atau terhadap masyarakat. Menurut
Bertens (2004), orang yang mempunyai hak dapat menuntut (dan bukan hanya
mengharapkan atau menganjurkan) bahwa orang lain akan memenuhi dan menghormati
hak itu. Sementara itu, kewajiban berkolerasi dengan hak karena setiap kewajiban
seseorang berkaitan dengan hak orang lain. Menurut John Stuart Mill
(1806-1873), suatu kewajiban akan sempurna bila dilandaskan pada keadilan.
Dalam hubungan ini, menurut Magnis Suseno (1987), hak dan kewajiban harus
ditujukan dalam rangka keutamaan moral melalui prinsip sikap baik, prinsip
keadilan, dan prinsip hormat terhadap diri sendiri. Ketiga prinsip ini tentu
perlu diuraikan secara eklektis mengingat wartawan tidak akan memiliki hak
orang lain. Sebaliknya, orang lain juga akan kehilangan rasa keadilannya jika
ia tidak mampu menghargai hak dan kewajiban wartawan.
Hak
Moral dan Keutamaan Moral
Melalui Sidang Pleno Dewan Pers di
Solo pada 1984, pers Indonesia pernah mengikrarkan diri sebagai Pers Pancasila,
yakni pers pembangunan yang orientasi sikap dan tingkah lakunya hendak
didasarkan pada ideology Pancasila dan UUD 1945. Dampak hal ini, pada waktu itu
eksistensi pers nasional hanya dipandang dari sudut dikotominya, yaitu (a)
sebagai objek institusionalisme pers, yakni pers yang diarahkan menjadi
institusi bisnis modern dan professional; dan (2) sebagai objek ideologisasi,
yaitu pers yang diarahkan sebagai pengemban aspirasi kebangsaan atau pembawa
pesan-pesan perjuangan nasional. Pemahaman bahwa Pers Pancasila identik dengan
Pers Pembangunan dalam perspektif kritis tentulah mengandung kekeliruan
epistemology. Istilah “Pers Pembangunan” itu sendiri, menurut Rachmadi (1990),
lahir dari konsep komunikasi pembangunan yang dicetuskan UNESCO pada 1950-an.
Konsep yang menggaris bawahi proses komunikasi melalui media massa itu
meletakkan posisi pers sebagai agen perubahan (agent of change), dengan tujuan
membantu mempercepat proses peralihan masyarakat tradisional ke masyarakat
modern. Oleh karena itu, Pers Pembangunan tidak hanya berperan sebagai penyebar
informasi, tetapi juga diarahkan untuk tujuan-tujuan penyuluhan dan pendidikan
masyarakat. Implikasi dari hal ini, pengarahan tersebut mestinya tidak otomatis
menghilangkan fungsi control sosial pers. Akan tetapi, fungsi itu justru
dihilangkan oleh rezim militer Orde Baru sehingga pers nasional ketika itu
diarahkan sebagai Pers Pembangunan, dan sekaligus Pers Pancasila, yakni pers
yang harus melulu memberitakan keberhasilan program Keluarga Berencana, program
modernisasi pertanian, dan pidato-pidato para pejabat. Itu sebabnya, Pers
Pembangunan berkolerasi dengan semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20.
Dampak dari hal ini, hingga awal 1990-an tidak sedikit penerbitan pers yang
SIUPP-nya dicabut dengan alas an “meresahkan masyarakat”, “mengganggu
stabilitas nasional”, atau menyinggung kesukuan, agama, dan ras (SARA)”. Dengan
demikian, dapat ditegaskan lagi bahwa Pers Pancasila tidaklah identik dengan
Pers Pemabangunan meskipun kenyataan ketika itu pers nasional cenderung tumbuh
sebagai “pers alat merah” atau pers corong pemerintah.
Hak dan kewajiban wartawan tidak
dapat dianggap absolut mengingat perilaku etis individual wartawan Indonesia
yang terkonteks secara sosial-historis dalam rangka meraih keutamaan moral. Di
dalam sejarah pers nasional, perilaku etis wartawan pernah dicerminkan melalui
upaya mereka dalam mengharmonikan idealism wartawan dengan institusionalisme
pers, sehingga menurut mereka usaha penerbitan pers tidak terlalu bersifat
kapitalistik. Oleh karena itu, perusahaan penerbitan pers harus dimiliki oleh
karyawannya dengan cara kepemilikan saham. Jika saham suatu perusahaan
penerbitan pers dimiliki seluruhnya oleh karyawan, kehaemonisan idealism
wartawan dengan institusioanlisme pers dianggap mudah terwujud. Keharmonian
ini, harus diupayakan melalui perusahaan berbentuk yayasan, sebab di dalam
yayasan tidak ada pemegang saham secara nyata dan tidak pula dividen. Seluruh
laba yayasan hanya dapat digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan
pengembangan perusahaan.
Dalam perspektif etis dewasa ini,
hak dan kewajiban wartawan tidak dapat lagi dipangkalkan hanya dari
kepatuhannya pada kode etik jurnalistik, misalnya dalam memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk menggunakan hak jawab dan hak koreksi sehubungan dengan
pemberitaan pers. Pasalnya kode etik tidak lagi berimpiklasi dengan fungsi
dasar pers sebagai watch dog, alat control sosial, yang di dalam paradigm masa lalu
amat diyakini sebagai “roh”-nya pers. Hak dan tanggung jawab pers, sehubungan
dengan “hak public untuk tahu”, hemat saya sudah diupayakan oleh pers nasional
era Reformasi. Melelaui lokusi, ilokusi, dan terutama perlokusi yang dilakukan
oleh surat kabar Kompas, khususnya
berkenaan dengan pemberitaan di seputar Pemilu 2004, mengindikasikan bahwa hak
dan tanggung jawab pers era Reformasi ditujukan demi pendidikan politik
masyarakat dalam hal berbangsa dan bernegara. Sebagaimana diketahui, Pemilu
2004 dianggap sebagai fajar baru demokrasi Indonesia karena adanya pemilihan
presiden secara langsung.
Dalam hiruk-pikuk masa pra-Pemilu
2009, misalnya Kompas menyatakan
bahwa Pemilu 2009 adalah pesta demokrasi. Layaknya pesta, maka pernyataan
tersebut diwujudkan ke dalam berita utama, berita khusus, dan tajuk rencaca.
Kebingungan rakyat terhadap sistem pemilu yang baru, maneuver politik dan ingar
binger pencalonan presiden dan wakil presiden, harta kekayaan capres dan
cawapres, keterwakilan perempuan di cabinet, kekhawatiran bangkitnya kekuatan
militer dan rezim Orde Baru, kecemasan terhadapan kinerja Komisi Pemilihan Umum
(KPU), dan pesimisme terhadap calon anggota legislativ menjadi topik yang
digarisbawahi. Dari kenyataan ini, ungkapan jurnalistik ketiga surat kabar
tersebut ditengarai menonjolkan prinsip etis tentang bangkitnya fungsi pers
sebagai wadah pendidikan bagi khlayak pembacanya dalam hal berbangsa dan
bernegara meskipun di dalam praktiknya mereka tidak dapat melepaskan diri dari
semangat kapitalisme mondial paruh abad ke-20, terutama dalam tata cara
pemuatan iklan partai peserta pemilu. Sebagai catatan, tata cara ini bahkan
dilakukan secara lebih intens menjelang Pemilu 2014.
Hak
Publik untuk Tahu
Istilah “hak publik untuk tahu”,
yang biasanya digandengkan dengan istilah tanggung jawab pers, merujuk pada
pergeseran paradigm lama mengenai kebebasan untuk pers. Kebebasan untuk pers,
yang semula berada pada tataran individu, kemudian bergeser ke masyarakat
menjadi kebebasan dari pers. Dalam perspektik etis, hak dan kewajiban wartawan
Indonesia belum dianggap berkolerasi dengan “hak publik untuk tahu”. Itu
sebabnya, pers nasional sejak Reformasi kerap dikesankan keblabasan, atau “tidak
punya rem”, karena sangat liberal dan keliberalannya melibihi Negara demokrasi
liberal Barat sekalipun, seperti terlihat pada pemakaian ungkapan jurnalistik
yang daya perlokutifnya merujuk pada hal-hal yang vulgar, sadis, cabul, atau
yang mengandung opini pribadi. Sebagaimana telah disinggung, kebnayakan
pengamat pers nasional bahkan memercayai bahwa liberalitas pers Indonesia itu
merupakan cermin pergeseran tata nilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang berjalan parallel dengan lahirnya gerakan reformasi. Merka ini juga
memercayai bahwa semangat yang melandasi gerakan reformasi adalah kebebasan
berbeda pendapat yang makin terbuka, pasar yang kian kompetitif, dan
terbangunnya kesadaran pluralism etis bahwa bangsa Indonesia merupakan bagian
dari kehidupan mondial. Dengan demikian, terjadi pula perubahan makna istilah
kebebasan pers, yang semula dimaknai “kebebasan untuk pers” menjadi “kebebasan
dari pers”. Kebebasan dari pers adalah terlepasnya public dari tekanan,
paksaan, atau terror yang dilakukan oleh pers karena public memang berhak tahu.
Kebebasan eksistensinya dan tanggung
jawab etis wartawan oleh karena itu tidaklah berada di awing-awang. Dari sudut
tentang wartawan Indonesia abad ke-21, kebebasan eksistensial dan tanggung
jawab menyeluruh yang terkonteks dengan kepribadian bangsa. Kita mungkin sering
melupakan bahwa hak dan kewajiban wartawan, yang merupakan cerminan kebebasan
eksistensial dan tanggung jawab etis wartawan, harus berakar pada nilai-nilai
etis bangsa karena pada dasarnya suatu pers adalah refleksi kehidupan etis
suatu masyarakat. Hak dan kewajiban wartawan, sebagaimana dicerminkan dari
sejarah pers nasional, sebenarnya juga bukan persoalan yang baru meskipun
terkunci di dalam praktik ideologisasi dan institusionalisme pers.
0 komentar:
Posting Komentar