Mirror, Mirror on the Wall....
Cerpen Dewi Lestari
Cerpen Dewi Lestari
Saya
teringat awal tahun 1990-an ketika produk pemutih wajah pertama kali
diperkenalkan. Saya baru mulai kuliah saat itu. Saya tak ingat persis yang
mana, tapi saya pernah mencoba memakai salah satu produk tersebut, tidak
lama-lama karena kurang cocok. Dan dari masa itu hingga sekarang, tak terhitung
lagi banyaknya aneka produk pemutih kulit yang ditawarkan berbagai produsen.
Cara mereka beriklan pun semakin luar biasa cerdik. Putihnya kulit dihubungkan
dengan peluangnya menemukan cinta, dengan putihnya hati nurani, dengan
kebahagiaan, hingga perebutan jodoh dalam tujuh hari. Gosong akibat kebanyakan
beraktivitas di bawah terik matahari tidak lagi menjadi alasan yang spesial.
Mereka
yang kurang putih digambarkan murung, tak mendapat perhatian cukup, selalu
dilewatkan oleh sang pujaan, alias tak bahagia. Sementara mereka yang sudah
putih atau akhirnya berhasil putih menjadi lebih semringah, diperhatikan
orang-orang, dan mendapatkan cinta. Singkat kata, lebih bahagia. Melihat
iklan-iklan itu, saya jadi bertanya-tanya, mengorek-ngorek ingatan saya:
pernahkah saya bertemu kasus di mana seseorang ditinggalkan karena kurang
putih? Atau pernahkah saya sendiri, ketika harus menentukan pasangan,
mendasarkan penilaian saya atas kadar melanin kulit mereka? Jujur, saya belum
pernah. Pada akhirnya, yang membuat saya betah bersama dengan seseorang adalah
kecocokan, ketersambungan sinapsis, hati, dan jiwa.
Sesuatu
yang tak bisa diverbalkan atau bahkan divisualisasikan. Dibutuhkan waktu
sepuluhan tahun, dan beberapa kali menjadi duta produk perawatan kulit, hingga
akhirnya saya memahami bahwa kata 'memutihkan' cenderung menyesatkan (beberapa
perusahaan lantas memilih kata 'mencerahkan' karena dianggap lebih realistis). Dibutuhkan
pengalaman hidup untuk akhirnya mampu menyimpulkan bahwa tampilan fisik
termasuk di dalamnya: warna kulit bukanlah penentu dalam menghadirkan cinta dan
kebahagiaan. Dibutuhkan pula obrol-obrol dengan para insan periklanan dan
perfilman untuk tahu bahwa bintang iklan pemutih kulit memang sudah putih dari
sananya. Kalaupun kurang putih, masih ada lampu, bedak, dan sulap digital yang
mampu menghadirkan citra apa saja yang dimau sang pengiklan. Dibutuhkan juga
buku genetika dan memetika untuk akhirnya memahami mengapa para perempuan tak
hentinya berlomba-lomba mengikuti standar cantik masyarakat, dan para pria tak
usainya bepacu menjadi yang paling kaya dan sukses, di luar dari batas logika
mereka.
Beberapa
hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan beberapa teman pria saya. Mereka
mempertanyakan, kenapa kok pasangan-pasangan mereka, tak henti-hentinya
menyoalkan berat badan, gaya busana, kecantikan kulit, dan sebagainya. Saya
berceletuk, karena kompetisi genetika. Mereka yang lebih cantik akan punya peluang
lebih besar untuk mendapatkan pasangan. Argumen saya dibalas lagi: tapi kan
mereka sudah memperoleh pasangan yakni, teman-teman saya tadi. Lalu, kok masih
terus-terusan repot? Mereka repot berdandan untuk siapa, dan untuk apa? Padahal
teman-teman saya tidak merasa memberikan aneka tuntutan atas penampilan mereka.
Kalau
sudah cinta, ya, cinta saja. Jika kaum perempuan mendengar pernyataan itu,
pastilah mereka bilang bahwa teman-teman saya itu spesies langka, atau mungkin
cuma munafik. Tidak ada pria di muka Bumi ini yang tidak menginginkan
pasangannya cantik dan menarik. Namun saya tidak terburu-buru melempar komentar
senada. Apa yang dibilang teman-teman saya cukup logis, memang. Kalau
pasangannya sudah dapat, jadi buat apa lagi repot? Lalu saya berceletuk lagi,
bahwa selama perempuan itu masih subur, dan selama pasangannya pun masih
sanggup bereproduksi, kompetisi genetika tidak akan pernah selesai. Baik
perempuan, maupun laki-laki, akan selalu berada di bawah bayang-bayang kendali
primordial mereka: prokreasi. Agenda genetika hanya satu: kelangsungan hidup
dan replikasi diri. Bagi kaum hawa, kebutuhan itu lantas diterjemahkan menjadi
kompetisi keamanan dan kepastian bagi dirinya serta keturunannya. Bagi kaum
adam, penerjemahannya adalah kompetisi menjadi yang terkuat agar berpeluang
besar untuk meneruskan keturunan.
Dalam
perkembangan peradaban, tentu konsep ini pun semakin canggih dan
berlapis-lapis, walau jika dikupas isinya sama-sama saja. 'Kuat' pada zaman
batu berarti cerdik dan tangguh hingga mampu menghadapi ancaman predator.
'Cantik' pada zaman itu artinya subur hingga mampu beranak banyak. Sekarang,
'kuat' berarti aset finansial, 'cantik' berarti dada-pinggul besar, berdandan
seksi, cerdas, dan seterusnya. Silakan dikupas, dan kita akan menemukan inti
yang sama: keamanan dan jaminan prokreasi.
Seumpama
jerapah yang berevolusi hingga lehernya panjang, otak manusia pun berkembang
sedemikian rupa hingga kita bisa berkomunikasi dengan akurat sampai akhirnya
menjadi spesies penguasa. Dilihat dari proporsi tubuh kita, para hewan akan
melihat bayi manusia sebagai makhluk aneh dengan otak yang terlampau besar. Dan
itulah hadiah evolusi untuk manusia. Sebagai makhluk tak bercakar, tak
bertaring, dan kulit yang terlampau halus, manusia berhasil menjadi spesies
dominan karena kecanggihan otaknya dan keterampilan jemarinya.
Manusia
bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu
elemen lain, yang dikenal dengan istilah: akal budi. Lewat akal budi pulalah
lantas tercipta 'aku' atau 'ego'. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis
menciptakan 'kamu', 'kita', 'mereka', 'dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan.
Dan 'aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga
yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama manusia.
'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku'
juga bisa menjadi sumber segala bencana jika kita hanyut dalam ilusi yang
dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda. Kini, kita
melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik
seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan
kecanduan sensasi indrawi. Di sisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung
seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi
makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai
agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya
akan selalu mengatakan 'makan!' jika lapar, 'kawin!' jika musimnya kawin.
Saat
mulai riset untuk novel yang saya tulis, Supernova Partikel, saya menemukan
banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata
lebih jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse
dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse
dengan gorila yang padahal di mata kita sama-sama monyet. Konon, Carolus
Linnaeus memisahkan manusia dari bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak
gereja. Pada kenyataannya, kita bertetangga lebih dekat dengan binatang,
ketimbang antarbinatang itu sendiri. Tidakkah ini lucu? Saya tergeli-geli
ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya aparatus bernama 'aku' sehingga kita
dimampukan untuk mengabaikan fakta dan lantas menyebut diri makhluk mulia.
Pernahkah
kita renungi, bahwa terlepas dari kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan
mulia, tapi atas nama kemuliaan, kita sering terlena dalam ilusi kolektif kita
sebagai representatif agung yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit
dan bumi hingga tak sadar bahwa kita pun sedang membunuhnya perlahan? Inilah
yang menjadikan manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena
pertempuran antara gen dan mem yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri,
tapi isi agendanya tak selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di
atas dua kaki, dari mulai kita bangun pagi hingga kembali tidur. Kembali pada obrolan saya dengan teman-teman
saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini mereka pun garuk-garuk kepala,
mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa berkembang liar menjadi urusan
taksonomi, genetika, dan memetika? Saya pun berkata, bahwa gelinya saya ketika
tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila sama dengan gelinya saya waktu
menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang mereka reklamekan sesungguhnya
bukanlah perlombaan menuju bahagia, melainkan perlombaan genetika yang tak ada
hubungannya dengan kebahagiaan, putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya,
kita berpotensi besar untuk berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda
genetika tak mungkin dipuaskan. Muncullah pertanyaan kami bersama: apa gunanya
tahu tentang perbudakan gen dan mem ini kalau memang tidak bisa dilawan? Saya
pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah hal tersebut menjadi konflik
baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya? Dan
mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih awas dan hati-hati dalam
bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga kita bisa lebih bijak dan
menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga pedang bermata ganda ini dapat
dipakai dengan konstruktif, bukannya destruktif? Mengetahui sesuatu tak selalu
berujung pada perlawanan. Karena perlawanan tanpa kebijaksanaan akan berujung
pada perang reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu
'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan merupakan
paket dari eksistensi kita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu harus
terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas manusia
yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak menahan
diri bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan
bersama, koeksistensi dengan semua makhluk, termasuk spesies kita sendiri.
Dengan
demikian, kita lebih bisa memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang
esensial. Jika yang dicari putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti
hydroquinone atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin,
seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat pinggang penghancur lemak, pil
pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih bangir, dan seterusnya? Dan seperti
buta, kita justru melewatkan hal-hal yang membuat diri kita lebih tenteram dan
mawas. Sore itu, di dalam toilet saya bercermin, lalu bertanya pada diri
sendiri: akankah saya bertambah bahagia jika kulit saya lebih putih, mulus
tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin tidak.
Namun
sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan menyadari
bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita
dari konflik meski hanya semenit-dua menit adalah kedamaian sejati, yang hanya
bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi
menyadari dan menerima keadaan kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga
mental? Saya rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu,
pertanyaan semacam itu tak akan laku jika diiklankan.
Namun
saya juga yakin, pertanyaan itulah yang menggantungi setiap dari kita, spesies
manusia, dan menggetok kepala kita satu hari, pada satu momen yang sempurna.
DMCA Protection on:
http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-mirror-mirror-on-wall-karya-dewi.html#ixzz2MmrAkhJL
0 komentar:
Posting Komentar