Selasa, 23 April 2013

Aku, FLP, dan Dakwah Menulis


Aku, FLP, dan Dakwah Menulis
Oleh N Alfian A

Tahun 1960-1975 merupakan saksi sejarah bagi perkembangan penulis Yogyakarta pada waktu itu. Umbu Landa Paranggi lah “sang guru” yang telah merubah dinamika para penulis maupun penyair Yogyakarta saat itu. Banyak penulis maupun penyair lahir bersama dia. Mulai dari Emha Ainun Najib, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Imam Budi Santoso, Teguh Ranusastra, dan masih banyak lagi. Bersama Umbu, mereka membentuk sebuah komunitas sastra yang mereka beri nama Persada Studi Klub (PSK). Sejak waktu itulah jejak tangan penulisan diantara mereka telah mewarnai berbagai macam media cetak. Dan tak dipungkiri juga, penyair sekalas WS Rendra pun tak pernah lepas dari kehidupan PSK. Semenjak sepeninggalannya Umbu ke Bali, PSK hanya bertahan sampai dua tahun saja sampai sekarang ini.
Namun jejak mereka masih berkeliaran di sana-sini mewarnai dinamika penulis Yogyakarta saat ini. Hingga ikut mewarnai dinamika Sastra Indonesisa dengan Sastra Yogya yang didirikan mereka. Dengan masih hidupnya mereka yang telah mengenyam pelajaran di PSK, mestinya hal ini sangat mendorong untuk menjadikan Yogyakarta sebagai Kotanya para penulis maupun Yogyakarta sebagai Kota Buku. Dengan banyaknya pusat akademis yang mendukung, semakin menjadi pelengkap bahwa Yogyakarta merupakan Kota Pendidikan dengan banyaknya Sekolah maupun Perguruan Tinggi baik Swasta maupun Negeri. Serta didukung cultur kebudayaan Yogyakarta yang ramah dan santun.
Mengingingat memori dunia penulis Yogyakarta era 70-an sangat perlu untuk dijadikan acuan untuk melengkah ke jenjang yang lebih baik lagi. Tapi regenerasi untuk mengikuti jejak mereka menjadi penulis harus ditunjang dengan samangat para pemuda saat ini, untuk terus menciptakan iklim yang harmonis dari sebuah kelompok ke kelompok lain guna menunjang bakat para penulis muda saat ini. Regenerasi memang perlu untuk dunia penulis muda Yogyakarta. Makin banyaknya komunitas penulis mulai dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)  sangat berarti untuk melanjutkan tren penulis Yogyakarta pada waktu itu. Munculnya berbagai komunitas sangat diharapkan untuk menyemangati kawula muda untuk giat membaca dan menulis.
Salah satunya Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta. Sebuah komunitas para penggores pena yang didalamnya terdiri dari berbagai manusia daerah serta ragam budaya itu, hingga kini telah menginjak generasi yang ke lima belas. Pastinya komunitas telah melahirkan banyak penulis handal yang tersebar di penjuru negeri ini. Semakin menandai bahwa dunia penulis Yogyakarta saat ini telah mengalami regenerasi. Tinggal kita menuggu karya dari mereka. Memang menulis itu sebuah aktifitas berdiam diri dan karya lah hasilnya. Namun dengan berkembangnya komunitas penulis di Yogyakarta, bisa berfungsi sebagai tempat diskusi, saling menyemangati, saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan (entah dengan membeli bersama atau saling pinjam). Menulis memang tak pernah lepas dari membaca. Bahkan guru terhebat dalam menulis itu pun membaca. Dengan membaca kita akan tahu segala sesuatu, keilmuwan, wawasan bahkan pola pikir. Membaca dan menulis memang ibarat dua sejoli yang tak pernah terpisahkan dalam dunia penulisan. Bila ada orang beranggapan bahwa “membaca itu membuang waktu”, lebih baik saling bertukar pikiran atau sharing. Hal itu salah besar. Membaca itu ibarat sebuah senjata, dan menulis itu yang jadi pelurunya. Dengan kita membaca kita akan bisa menghempaskan segala sesuatu dan tulisan lah yang akan jadi buktinya. Tulisan akan jadi saksi terhempasnya segala sesuatu yang itu di nilai baik, buruk, maupun di luar batas.
Melihat asumsi di media massa, bahwa FLP merupakan dunia penulis fiksi, maupun nonfiksi hingga seni peran. Hal ini sangat memacu saya untuk bergabung di sini. Menimba ilmu untuk dijadikan pelengkap untuk mengembangkan jiwa kepenulisan saya untuk selalu berkarya. Serta merubah statement yang ada di media massa. Bahwa, “Masihkah Yogyakarta sekarang melahirkan penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an?”. Saya meyakini bahwa regenerasi penulis di Yogyakarta saat ini telah berkembang pesat. Hal itu bisa dibuktikan semakin banyaknya industri percetakan di Yogyakarta banyak dan berkembang pesat. Dan sangat menunjang untuk karya-karya penulis muda saat ini. Berbagai komunitas penulis maupun Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sangat melopori untuk meyakini, bahwa Yogyakarta era 70-an telah tinggal kenangan, tapi Yogyakarta era sekarang akan selalu mewarnai Yogyakrta era 70-an dengan para semangat juang para penulis muda.
Pastinya FLP telah menganjurkan kepada anggotanya untuk selalu giat menulis di berbagai media massa. Hal ini bisa melatih jiwa Jurnalistik para anggota. Menulis di media sangat perlu. Sebagai sarana dakwah yang efisien dengan ditunjuang tulisan-tulisan yang mudah dimengerti oleh pembacanya. Baik itu fiksi maupun non fiksi. Kalau kita melihat penulis karya seperti Dewi dee Lestari, pastinya di angan-angan pasti sering bertanya-tanya. Bahkan saya sendiri sangat mengagumi karya dia. Seolah-olah karya yang diciptakan dia memiliki unsur kenyataan yang kuat tetapi banyak diselipkan hal-hal yang tabu yang sulit tak terjamahkan. Seperti halnya pada karya dia “Perahu Kertas”. Kita menemukan hal yang tabu seperti Sang Dewa Laut yang bernama Neptunus. Menemukan hal semacam itu, rasa penasaran semakin menyelimuti diriku. Dari mana Dewi Lestari menemukan Neptunus. Realitakah adanya sebuah Radar Neptunus dengan membentuk kedua jari kanan-kiri seperti tanduk di atas kepala. Dan masih banyak lagi karya Dewi Lestari yang membuatku bertanya-tanya. Karena saya penikmat karya Dewi Lestari.
Harapan saya bergabung FLP, untuk meningkatkan jiwa kepenulisan yang ada dalam diri ini. Baik karya fiksi maupun non fiksi itu sama saja. Karena dalam benak saya, berkarya lewat tulisan itu tidak bisa diukur dari fiksi maupun non fiksi. Melainkan sebuah karya tulisan apapun yang itu bisa meyakini pembacanya untuk berbuat yang lebih baik. Dan itu bisa dikatakan sebagai sarana dakwah. Ketika sebuah tulisan bisa merubah pola pikir manusia menjadi lebih untuk selalu menjalankan syariat agama. Dakwah bukan harus berceramah di berbagai masjid maupun rumah. Dengan berkembang pesatnya media massa, ini bisa menunjang sarana dakwah yang lebih representative lagi. Tentunya lewat tulisan-tulisan yang bisa bermanfaat untuk semua orang.
            Menulis adalah bagian yang penting dalam hidup. Menjadi seorang jurnalis merupakan pekerjaan yang sangat mulia, karena kita telah mengubah masyarakat akan sebuah informasi yang terjadi saat ini. Dan seharusnya umat islam harus memiliki media tersendiri  untuk mengembangkan dakwah lewat para jurnalis. Dan itu bisa di buktikan ketika saya membaca sebuah artikel dalam blog, bahwa pena seorang jurnalis mampu merubah kebodohan menjadi peradaban yang lebih baik serta maju di berbagai aspek.
            Sehingga nantinya FLP terus mencetak para penulis muda yang handal di berbagai aspek. Dan meyakini bahwaka dunia kepenulisan era 70-an sekarang berada di FLP. Para pemuda yang resah akan sesuatu, tetapi di goreskan di selambar kertas, guna meyakinkan para pembaca yang minim akan bahan bacaan. Menulis dari yang resah hingga sebuah kewajiban, semakin erat dalam merubah dunia dari yang namanya pembodohan. 
Read More ->>

Jumat, 19 April 2013

Kapitalisme, Sosialisme dan Islam


Kapitalisme, Sosialisme dan Islam
Oleh Saratri Wilonoyudho

Kematian Presiden Venezuela Hugo Chavez yang ditangisi jutaan rakyatnya menunjukkan (barangkali) ada sesuatu yang pantas diteladani darinya. Dia adalah salah satu tokoh di jaman moderen yang  namanya dapat disejajarkan dengan para pemimpin di jaman dahulu yang memiliki kharisma luar biasa. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Sukarno, dan seterusnya. Mereka bukan sekadar pejabat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan. Demikian pula Chavez, nampaknya dia bukan tipe pemimpin yang sujud syukur ketika memenangkan pemilihan presiden, namun justru menangis karena dalam hatinya ragu, apakah ia bisa mensejahterakan rakyat yang mempercayainya?    

Di bawah kepemimpinannya, kekayaan alam Venezuela yang dulu banyak dikuasai Barat, dinasionalisasikan.
Hasilnya luar biasa, cadangan minyak negaranya mencuat menjadi 298 miliar barrel, dan menggungguli Arab Saudi yang hanya 290 miliar barrel. Dengan kekayaan minyaknya, Chavez membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Padanan Chavez di masa modern ini adalah Presiden Iran Ahmadinejad. Dia juga presiden yang santun. Pernah satu kali kamera TV memergoki jas yang ia pakai ternyata sobek di bagian ketiaknya. Dia sosok presiden yang tidak mau menerima gaji dari negara.

Sebelumnya Menlu AS Henry Kissinger, juga memutuskan menjadi pengarang buku ketika lengser dari jabatannya. Untuk apa? Untuk membayar utang, katanya. Ketika menjabat dia banyak menghabiskan uang untuk keperluan sosial, sementara gajinya sebagai menteri luar negeri AS tidak mencukupinya. Akibatnya, kini ia harus hidup sederhana. Kisah yang sama juga dialami  John Gorton, mantan PM Australia (1968-1971) ini jadi bintang iklan General Motors di TV. Rakyat Australia banyak yang marah dan mencibir, tapi Gorton tenang saja: “Lebih baik begini daripada duduk sebagai dewan direksi yang belum tentu halal”.
Tebaran contoh-contoh pemimpin dunia tersebut menunjukkan bahwa jika seluruh tenaga dan pikirannya ditujukan untuk rakyat, maka ia akan banyak dikenang dan mampu menggerakkan rakyatnya. Prof. Soepomo pernah memperkenalkan istilah negara integralistik, yang intinya mestinya tidak akan ada perbedaan pandangan  antara negara (pemerintah penyelenggara negara) dengan rakyat, karena penyelenggara negara itu atas nama rakyat. Karenanya, pemerintah mestinya seorang pemimpin yang sejati adalah sosok yang mampu menjadi penunjuk ke arah cita-cita bersama yang adil. Dengan demikian ada keseimbangan antaramakrokosmos dan mikrokosmos, serta ada kemanunggalan antara “kawulo” dan “gusti”.

Dalam Pembukaan UUD 45, para Founding Fathers dengan jelas merumuskan: “Negara berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dari konstruksi rumusan tersebut nampak bahwa Negara bukan perjanjian antarindividu (apalagi partai politik) atau perjanjian timbal balik (vertrag), namun merupakan sebuah kesepakatan satu tujuan (gesamt-akt). Akibat lebih jauh, dalam pengertian tersebut tidak ada yang namanya “pemerintah” dan “yang diperintah”, namun yang ada hanyalah rakyat dan “penyelenggara negara atas nama rakyat”.
Penyelenggara negara atau pemimpin sejati mesti rajin memeriksa denyut nadi masyarakat yang “mempekerjakannya” sebagai pemimpin, dan di ujungnya pemimpin harus memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Agar rakyat dapat digerakkan, harus tidak ada perbedaan yang berarti antara cita-cita rakyat dengan cita-cita para pemimpin.

Sosialisme

Kembali kepada Chavez, konon ia juga dikaitkan dengan kaum sosialis yang sangat dibenci Barat. Bahkan ada khabar kematiannya diracun oleh AS. Sosialisme adalah paham yang mencoba mengoreksi paham kapitalisme yang lebih dahulu lahir. Kalau kapitalisme lebih dikonotasikan keserakahan, karena alat-alat produksi bebas dikuasai segelintir orang, maka sosialisme ingin mengoreksi dengan jalan menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi secara merata. Dalam sistem kapitalisme pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kata Adam Smith, nanti akan ada invisible hand atau tangan-tangan yang tak kelihatan dalam menertibkan pasar. Namun kenyataannya,  pemerintah pun tidak dapat melakukan intervensi pasar. Justru pemerintah, seringkali berada dalam pusaran “calo” kapitalisme inti, baik untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Penguasaan sumberdaya alam, relokasi pabrik, dan praktek-praktek perdagangan selalu dikontrol dari pusat kapitalisme inti. Keuntungan dan sumber-sumber kekayaan disedot habis-habisan ke mereka, sementara rakyat berada dalam posisi marginal. Karenanya, pusat kapitalisme inti selalu campur tangan dalam setiap pemilihan kepala negara. Untuk melemahkan satu negara banyak cara yang mereka tempuh, tergantung “kebudayaan kekuasaan” suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang pemerintahnya lembek akan mudah di brain washing, lewat serbuan media massa, intel-intel yang memecah belah bangsa, bahkan konon ada lembaga internasional yang tugasnya “mbujuki” para pejabatnya untuk doyan korupsi. Tujuannya agar ada posisi tawar dan lemah pemerintahannya. Kasus sapi impor, Century, jatuhnya Bung Karno, dst jelas terkait dengan kapitalisme inti. Lewat diplomasi kebudayaan pun, Barat mampu menguasai kita, lewat restoran cepat saji, gaya hidup, budaya ngepop,dst. Dalam perjalanannya, ternyata kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme memakan banyak korban. Ide utama kapitalisme seperti “modernisasi”, “pertumbuhan”, “efisiensi”, “beranak-pinaknya modal”, “teknologi”, dst, banyak membawa korban karena adanya kesenjangan sosial, ketidakmerataan, kemiskinan, baik karena monopoli, oligopoli, dst, sampai akibat stabilitas politik yang sangat ketat.

Sebaliknya dalam ideologi sosialisme ide “revolusi” perjuangan kelas, juga banyak membawa korban manusia. Janji masa depan yang cerah yang bakal terjadi, dibayar dengan penderitaan, teror, dan perang. Janji Kedua ideologi itu hanya mitos semata dan tidak ada bukti sama sekali. Peter L. Berger berpendapat harus ada usaha demitologisasi, agar ada cara pandang yang baru dan akan memungkinkan suatu pendekatan yang realistis dalam pengambilan kebijaksanaan politik. Mestinya dalam setiap pembangunan, terlepas dari ideologinya, harus ada partisipasi. Setidaknya ada dua imperatif etis, yaitu bahwa manusia berhak atas partisipasi, dan manusia juga berhak berpartisipasi yang mencakup segi kognitif. Jadi, manusia berhak untuk ikut serta dalam menafsirkan dan memaknakan dunia dan kenyataan yang ia hadapi. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka tak pelak lagi bahwa pembangunan akan sangat berjarak dengan manusianya. Artinya rakyat hanyalah sekadar sasaran kebijakan politik, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi, bukan saja dalam mengambil keputusan-keputusan khusus, tetapi juga dalam merumuskan definisi-definisi situasi yang merupakan dasar dalam mengambil keputusan-keputusan tadi, partisipasi ini bisa disebut partisipasi koginitif.”

Kritik yang lain dating dari Andre Gunder Frank. Dalam bukunya yang  diberi label Capitalism and Underdevelopment in Latin America, ia percaya bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang yang terus mengembangkan keterbelakangan di masa sekarang. Dengan demikian, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kurang modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran — yang oleh Frank disebut sebagai negara satelit — adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara pusat  yang disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan Negara-negara satelit.

Bagaimana Islam?

Dalam pandangan saya, kesalahan ideologi kapitalisme dan sosialisme dapat dikoreksi oleh “ideologi” Islam. Letak kesalahan kedua ideologi itu karena tidak menempatkan Allah SWT sebagai hal yang primer. Dalam ajaran Islam, mencari harta bukan tujuan namun akibat dari kerja keras (jihad). Dengan kata lain, dalam Islam silakan jadi ”kapitalis”, namun itu bukan tujuanmu. Justru manusia diturunkan untuk menjadi khalifah yang memanajemen alam semesta, namun semua harus kembali kepadaNya.
Bekerja keras justru dianjurkan, dan pasti Allah akan memberikan ”bonus” berupa harta. Namun Allah juga mengajarkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah SWT. Bagaimana caranya? Allah sudah memberi metode, yakni manusia diperintahkan membayar zakat. Dengan kata lain, bekerja keras itu justru untuk memayu hayuning bawono, dan bukan untuk kepentingan pribadi. Logikanya, semakin bekerja keras, akan semakin banyak hartanya, dan akan semakin sejahtera pula alam sekitarnya karena ada distribusi yang lebih banyak. Ini adalah metode dialektika yang sangat indah.
Zakat juga tidak dibatasi oleh aturan “fiqh” belaka yang hanya 2,5% itu, namun Allah menganjurkan manusia untuk menggunakan akal dan nuraninya, bahwa aturan itu hanya sekadar metode “teatrikal”. Dalam hal ini Allah sudah menyebut dan menjanjikan bahwa derajad manusia hanya diukur dari ketaqwaannya. Kalau manusia sudah sampai ke tataran taqwa, maka ia tidak lagi bekerja pada tataran akal dan hukum fiqh belaka, namun hati. Ia pasti tidak akan terpaku pada angka 2,5%, namun bisa jadi 10%, bahkan 90% hartanya dizakatkan. Dalam ajaran ini seakan manusia diperintahkan agar hobby-nya “mengejar harta” yang tidak untuk dinikmati secara pribadi, namun dikembalikan kepada Allah lagi.
Ideologi kapitalisme baru berlaku pada tataran tujuan hidup manusia yang paling dasar, dan bukan tujuan hidup yang sejati. Tujuan mendasar terus berubah sehingga manusia tidak akan bahagia. Kisah Michael Jackson, Mike Tyson, Elvis Presley, Whitney Houston, dan beberapa konglomerat dunia yang mati mengenaskan, adalah bukti bahwa harta tidak dapat membahagiakan. Jika hanya berhenti pada tujuan dasar, maka akan semakin haus harta karena lingkungan terus berubah dan terus menuntut untuk dipenuhinya.
Mereka belum sampai pada tataran menggapai hidup yang sejati yang dalam Islam disebut menggabungkan diri kepada keesaan Allah. Orang yang sudah berhasil ke arah ini, maka akan tetap bekerja keras, namun kerja kerasnya itu ditujukan untuk Allah. Jika orang sudah sampai tataran ini, pasti dia akan menggunakan harta yang ia cari dengan keras itu untuk tujuan menggabungkan diri Allah. Konkretnya, pasti ia akan membelanjakan hartanya di jalan Allah, diantaranya untuk menyantuni fakir miskin, yatim piatu dan tujuan sosial lainnya.

Sejarah menunjukkan bahwa  pada zaman Nabi lahir, Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Jelas bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, bukan hanya masalah teologis belaka, namun karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad serta ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta. Contohnya, Abu Jahal dan Abu Lahab membenci Muhammad juga bukan karena masalah teologis, namun juga untuk merebut ”tambang emas” saat itu yakni sumber air zamzam yang dikuasai nenek moyang Muhammad.

Dalam Islam, “kapitalisme” yang tidak ditujukan kepada Allah wujud konkretnya adalah menumpuk-numpuk harta. Dalam Surat Al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).
Dalam Islam di dalam hartanya terdapat harta orang lain. Kalau kapitalisme mengeksploitasi buruh, dan sosialisme hendak melawannya dengan meniadakan antarkelas, maka dalam Islam buruh itu kekasih Allah dan harus dibayar sebelum keringatnya kering. Dalam surat Al An’amayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir atau menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Dalam surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: “Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya”.
Islam juga menganut “ideologi” tanpa kelas. Dalam surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: “Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku”. Semua manusia sama derajadnya di hadapan Allah, dan yang membedakan hanyalah taqwanya dan bukan harta bendanya. Sialnya manusia hanya menganggap agama sebagai simbol formalisme yang dikejar lewat dogma beku dan klaim-klaim kebenaran yang tidak membumi. Seolah-olah itulah tiket ke surga jika sudah menjalankan ibadah mahdoh. Padahal Islam bisa “dimanfaatkan” untuk mensifati apa saja, termasuk ideologi kapitalisme dan sosialisme.

Read More ->>

Selasa, 16 April 2013

Cerpen "Dee" - Mirror, Mirror on the Wall....


Mirror, Mirror on the Wall....
Cerpen Dewi Lestari



Saya teringat awal tahun 1990-an ketika produk pemutih wajah pertama kali diperkenalkan. Saya baru mulai kuliah saat itu. Saya tak ingat persis yang mana, tapi saya pernah mencoba memakai salah satu produk tersebut, tidak lama-lama karena kurang cocok. Dan dari masa itu hingga sekarang, tak terhitung lagi banyaknya aneka produk pemutih kulit yang ditawarkan berbagai produsen. Cara mereka beriklan pun semakin luar biasa cerdik. Putihnya kulit dihubungkan dengan peluangnya menemukan cinta, dengan putihnya hati nurani, dengan kebahagiaan, hingga perebutan jodoh dalam tujuh hari. Gosong akibat kebanyakan beraktivitas di bawah terik matahari tidak lagi menjadi alasan yang spesial.
Mereka yang kurang putih digambarkan murung, tak mendapat perhatian cukup, selalu dilewatkan oleh sang pujaan, alias tak bahagia. Sementara mereka yang sudah putih atau akhirnya berhasil putih menjadi lebih semringah, diperhatikan orang-orang, dan mendapatkan cinta. Singkat kata, lebih bahagia. Melihat iklan-iklan itu, saya jadi bertanya-tanya, mengorek-ngorek ingatan saya: pernahkah saya bertemu kasus di mana seseorang ditinggalkan karena kurang putih? Atau pernahkah saya sendiri, ketika harus menentukan pasangan, mendasarkan penilaian saya atas kadar melanin kulit mereka? Jujur, saya belum pernah. Pada akhirnya, yang membuat saya betah bersama dengan seseorang adalah kecocokan, ketersambungan sinapsis, hati, dan jiwa.

Sesuatu yang tak bisa diverbalkan atau bahkan divisualisasikan. Dibutuhkan waktu sepuluhan tahun, dan beberapa kali menjadi duta produk perawatan kulit, hingga akhirnya saya memahami bahwa kata 'memutihkan' cenderung menyesatkan (beberapa perusahaan lantas memilih kata 'mencerahkan' karena dianggap lebih realistis). Dibutuhkan pengalaman hidup untuk akhirnya mampu menyimpulkan bahwa tampilan fisik termasuk di dalamnya: warna kulit bukanlah penentu dalam menghadirkan cinta dan kebahagiaan. Dibutuhkan pula obrol-obrol dengan para insan periklanan dan perfilman untuk tahu bahwa bintang iklan pemutih kulit memang sudah putih dari sananya. Kalaupun kurang putih, masih ada lampu, bedak, dan sulap digital yang mampu menghadirkan citra apa saja yang dimau sang pengiklan. Dibutuhkan juga buku genetika dan memetika untuk akhirnya memahami mengapa para perempuan tak hentinya berlomba-lomba mengikuti standar cantik masyarakat, dan para pria tak usainya bepacu menjadi yang paling kaya dan sukses, di luar dari batas logika mereka.
Beberapa hari yang lalu, saya terlibat diskusi dengan beberapa teman pria saya. Mereka mempertanyakan, kenapa kok pasangan-pasangan mereka, tak henti-hentinya menyoalkan berat badan, gaya busana, kecantikan kulit, dan sebagainya. Saya berceletuk, karena kompetisi genetika. Mereka yang lebih cantik akan punya peluang lebih besar untuk mendapatkan pasangan. Argumen saya dibalas lagi: tapi kan mereka sudah memperoleh pasangan yakni, teman-teman saya tadi. Lalu, kok masih terus-terusan repot? Mereka repot berdandan untuk siapa, dan untuk apa? Padahal teman-teman saya tidak merasa memberikan aneka tuntutan atas penampilan mereka.

Kalau sudah cinta, ya, cinta saja. Jika kaum perempuan mendengar pernyataan itu, pastilah mereka bilang bahwa teman-teman saya itu spesies langka, atau mungkin cuma munafik. Tidak ada pria di muka Bumi ini yang tidak menginginkan pasangannya cantik dan menarik. Namun saya tidak terburu-buru melempar komentar senada. Apa yang dibilang teman-teman saya cukup logis, memang. Kalau pasangannya sudah dapat, jadi buat apa lagi repot? Lalu saya berceletuk lagi, bahwa selama perempuan itu masih subur, dan selama pasangannya pun masih sanggup bereproduksi, kompetisi genetika tidak akan pernah selesai. Baik perempuan, maupun laki-laki, akan selalu berada di bawah bayang-bayang kendali primordial mereka: prokreasi. Agenda genetika hanya satu: kelangsungan hidup dan replikasi diri. Bagi kaum hawa, kebutuhan itu lantas diterjemahkan menjadi kompetisi keamanan dan kepastian bagi dirinya serta keturunannya. Bagi kaum adam, penerjemahannya adalah kompetisi menjadi yang terkuat agar berpeluang besar untuk meneruskan keturunan.
Dalam perkembangan peradaban, tentu konsep ini pun semakin canggih dan berlapis-lapis, walau jika dikupas isinya sama-sama saja. 'Kuat' pada zaman batu berarti cerdik dan tangguh hingga mampu menghadapi ancaman predator. 'Cantik' pada zaman itu artinya subur hingga mampu beranak banyak. Sekarang, 'kuat' berarti aset finansial, 'cantik' berarti dada-pinggul besar, berdandan seksi, cerdas, dan seterusnya. Silakan dikupas, dan kita akan menemukan inti yang sama: keamanan dan jaminan prokreasi.
Seumpama jerapah yang berevolusi hingga lehernya panjang, otak manusia pun berkembang sedemikian rupa hingga kita bisa berkomunikasi dengan akurat sampai akhirnya menjadi spesies penguasa. Dilihat dari proporsi tubuh kita, para hewan akan melihat bayi manusia sebagai makhluk aneh dengan otak yang terlampau besar. Dan itulah hadiah evolusi untuk manusia. Sebagai makhluk tak bercakar, tak bertaring, dan kulit yang terlampau halus, manusia berhasil menjadi spesies dominan karena kecanggihan otaknya dan keterampilan jemarinya.

Manusia bukan pula semata-mata budak genetika. Evolusi spesies kita menghadirkan satu elemen lain, yang dikenal dengan istilah: akal budi. Lewat akal budi pulalah lantas tercipta 'aku' atau 'ego'. Binatang tak memiliki ini. 'Aku' otomatis menciptakan 'kamu', 'kita', 'mereka', 'dia'. 'Aku' menciptakan keterpisahan. Dan 'aku' jugalah yang mendambakan penyatuan. Inilah dualitas mendasar, harga yang harus dibayar untuk menjalankan kehidupan sebagai spesies bernama manusia. 'Aku' adalah sarana vital agar kita semua mampu melangsungkan hidup, tapi 'aku' juga bisa menjadi sumber segala bencana jika kita hanyut dalam ilusi yang dihadirkannya. Hadiah evolusi ini menjadi pedang bermata ganda. Kini, kita melihat dan menuai hasilnya. Di satu sisi, dibungkus dengan konsep cantik seperti 'asmara' atau 'gaya hidup', manusia bisa mengeruk habis isi bumi dan kecanduan sensasi indrawi. Di sisi lain, dibungkus dengan konsep adiluhung seperti 'cinta' dan 'ilahi', manusia pun bisa menjadi malaikat pelindung bagi makhluk lain, berpuasa, bahkan hidup selibat. Hewan, yang sepenuhnya dikuasai agenda genetika, tidak akan mengenal konsep berpuasa demi kesucian. Instingnya akan selalu mengatakan 'makan!' jika lapar, 'kawin!' jika musimnya kawin.
Saat mulai riset untuk novel yang saya tulis, Supernova Partikel, saya menemukan banyak fakta menarik. Kesenjangan DNA antara simpanse dengan gorila ternyata lebih jauh tiga kali lipat dibandingkan dengan kesenjangan DNA antara simpanse dengan manusia. Yang artinya, manusia lebih mirip simpanse, ketimbang simpanse dengan gorila yang padahal di mata kita sama-sama monyet. Konon, Carolus Linnaeus memisahkan manusia dari bangsa hewan hanya karena takut dimarahi pihak gereja. Pada kenyataannya, kita bertetangga lebih dekat dengan binatang, ketimbang antarbinatang itu sendiri. Tidakkah ini lucu? Saya tergeli-geli ketika tahu fakta itu. Betapa dahsyatnya aparatus bernama 'aku' sehingga kita dimampukan untuk mengabaikan fakta dan lantas menyebut diri makhluk mulia.
Pernahkah kita renungi, bahwa terlepas dari kemampuan manusia untuk menjadi sungguhan mulia, tapi atas nama kemuliaan, kita sering terlena dalam ilusi kolektif kita sebagai representatif agung yang ditunjuk Tuhan untuk menjadi penguasa langit dan bumi hingga tak sadar bahwa kita pun sedang membunuhnya perlahan? Inilah yang menjadikan manusia makhluk paradoks yang luar biasa. Kita adalah arena pertempuran antara gen dan mem yang pada dasarnya hanya ingin mereplikasi diri, tapi isi agendanya tak selalu sejalan. Kita adalah konflik yang berjalan di atas dua kaki, dari mulai kita bangun pagi hingga kembali tidur.  Kembali pada obrolan saya dengan teman-teman saya. Mungkin sama seperti Anda, pada titik ini mereka pun garuk-garuk kepala, mengapa pembahasan soal iklan pemutih bisa berkembang liar menjadi urusan taksonomi, genetika, dan memetika? Saya pun berkata, bahwa gelinya saya ketika tahu segitiga DNA manusia-simpanse-gorila sama dengan gelinya saya waktu menonton iklan pemutih wajah itu. Apa yang mereka reklamekan sesungguhnya bukanlah perlombaan menuju bahagia, melainkan perlombaan genetika yang tak ada hubungannya dengan kebahagiaan, putihnya hati, atau cinta sejati. Sebaliknya, kita berpotensi besar untuk berpacu menuju ketidakbahagiaan, karena agenda genetika tak mungkin dipuaskan. Muncullah pertanyaan kami bersama: apa gunanya tahu tentang perbudakan gen dan mem ini kalau memang tidak bisa dilawan? Saya pun kembali merenung. Mungkinkah itu dilawan? Tidakkah hal tersebut menjadi konflik baru? Mungkinkah, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyadarinya? Dan mungkin saja, dari penyadaran itu, kita lebih awas dan hati-hati dalam bertindak, dalam memilih, dalam memilah? Hingga kita bisa lebih bijak dan menahan diri untuk mengonsumsi sesuatu? Hingga pedang bermata ganda ini dapat dipakai dengan konstruktif, bukannya destruktif? Mengetahui sesuatu tak selalu berujung pada perlawanan. Karena perlawanan tanpa kebijaksanaan akan berujung pada perang reaksioner yang sia-sia. Tak selamanya tombol primordial itu 'buruk', bagaimanapun tombol-tombol itu ada untuk pertahanan diri dan merupakan paket dari eksistensi kita. Namun tak selamanya pula tombol-tombol itu harus terus dipenuhi dan diberi reaksi. Dengan laju peradaban dan kapasitas manusia yang kini begitu luar biasa, seringkali kita memang harus lebih banyak menahan diri bukan atas nama penyangkalan, tapi justru untuk kelangsungan kehidupan bersama, koeksistensi dengan semua makhluk, termasuk spesies kita sendiri.

Dengan demikian, kita lebih bisa memusatkan fokus dan energi kita untuk hal-hal yang esensial. Jika yang dicari putihnya hati, seberapa relevankah lagi zat seperti hydroquinone atau vitamin B3? Jika yang dicari adalah ketenangan batin, seberapa relevankah lagi papan sit-up, ikat pinggang penghancur lemak, pil pelangsing, sumpalan silikon, hidung lebih bangir, dan seterusnya? Dan seperti buta, kita justru melewatkan hal-hal yang membuat diri kita lebih tenteram dan mawas. Sore itu, di dalam toilet saya bercermin, lalu bertanya pada diri sendiri: akankah saya bertambah bahagia jika kulit saya lebih putih, mulus tanpa cacat cela? Mungkin iya, mungkin tidak.
Namun sanggupkah saya mentransendensi apa yang saya lihat di cermin, dan menyadari bahwa bahkan yang namanya kebahagiaan pun tak lekang, bahwa terbebasnya kita dari konflik meski hanya semenit-dua menit adalah kedamaian sejati, yang hanya bisa dilakukan bukan dengan menahan melanin atau menghapus keriput, tapi menyadari dan menerima keadaan kita apa adanya sekarang ini, fisik dan juga mental? Saya rasa, itulah pertanyaan yang sesungguhnya. Dan saya pun tahu, pertanyaan semacam itu tak akan laku jika diiklankan.
Namun saya juga yakin, pertanyaan itulah yang menggantungi setiap dari kita, spesies manusia, dan menggetok kepala kita satu hari, pada satu momen yang sempurna.


DMCA Protection on: http://www.lokerseni.web.id/2011/07/cerpen-mirror-mirror-on-wall-karya-dewi.html#ixzz2MmrAkhJL
Read More ->>

DUNIA PENULIS YOGYAKARTA


DUNIA PENULIS YOGYAKARTA
8 Desember 2009 oleh ragajiwa
M.H. Abid
Penulis, Editor, Tinggal di Yogyakarta


Dialog on-air Jogja Realitas yang digelar Radio Eltira FM pada 23 Maret 2007 lalu mengangkat topik “Jogja Kota Buku”. Dialog tersebut menghadirkan pihak penerbit, distributor, dan toko buku—pihak yang dianggap menunjang konsep Kota Buku. Sayang, selain tidak dihadirkan, pihak penulis dan dunia kepenulisan di Yogyakarta tidak disinggung dalam dialog itu. Apakah penulis dan dunia kepenulisan bukan unsur penunjang Kota Buku? Atau apakah Yogyakarta tidak menunjang bagi tumbuh dan berkembangnya dunia penulisan?

Tentu saja tidak. Bisa dikata justru penulis dan dunia penulisan adalah unsur terpenting industri perbukuan. Dan di Yogyakarta dunia penulisan juga tumbuh subur, barangkali tersubur ketimbang daerah lain di Indonesia. Ini bisa dilihat di sejumlah media massa nasional, banyak penulis yang mempublikasikan tulisannya di sana berasal atau berdomisili di Yogyakarta.
Demikian pula, dalam diskusi Eltira Bookshelf yang digelar Eltira FM pada 26 Maret 2007 lalu yang membedah buku kumpulan cerpen Loktong (cina: Pelacur), penulis terbanyak di buku tersebut berasal dari Yogyakarta. Loktong adalah kumpulan cerpen pemenang lomba penulisan cerpen pemuda nasional yang digelar oleh Creative Writing Institute (CWI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada penghujung tahun 2006. Tidak hanya penulis Yogya yang terbanyak masuk nominasi dibanding penulis kota lain, di akhir buku itu dicantumkan nama-nama peserta yang berpartisipasi dalam lomba tersebut. Dan, peserta terbanyak tersebut berasal dari Yogyakarta.

Yogyakarta sejak lama memang menjadi kota tempat bersemayamnya banyak penulis, tidak hanya tingkat nasional bahkan juga dunia. Secara serampangan kita bisa menyebutkan nama-nama seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Emha Ainun Nadjib, Y.B. Mangunwijaya, Sindhunata, dan masih banyak lagi. Penyair sekaligus wartawan F. Rahardi pernah menyebutkan bahwa pada 1970-an Yogyakarta merupakan kota terbanyak melahirkan penyair. Pada 1960 hingga 1970-an tercatat Rendra, Kirjomulyo, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono pernah tinggal di Yogyakarta.
Masihkah Yogyakarta sekarang melahirkan penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an? Seperti telah disebutkan, jika mereka yang menulis di media massa, dan jika ini bisa dijadikan parameter, jawabannya adalah masih. Kata kuncinya adalah regenerasi. Yogyakarta bisa dikata merupakan laboratorium regenerasi kepenulisan di negeri ini. Beberapa tahun terakhir, kita mencatat penulis-penulis baru yang lahir dari rahim Yogyakarta antara lain Indra Tranggono, Agus Noor, Puthut EA., Eka Kurniawan, Dwicipta, dll.
Saya melihat, regenerasi tersebut berhasil sukses hingga Yogyakarta tak pernah habis melahirkan penulis baru karena beberapa faktor. Pertama, iklim akademis yang mendukung. Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, dengan ratusan sekolah dan perguruan tinggi tersebar di sini. Salah satu faktor yang dekat dengan dunia pendidikan adalah dunia tulis-menulis.

Memang, beberapa waktu lalu di Kompas Yogyakarta pernah diperdebatkan tentang sedikitnya karya-karya “bermutu” yang diterbitkan. Kalau sebelumnya penerbitan Yogyakarta dikenal sebagai penerbit buku “berat”, beberapa tahun belakangan berubah menjadi penerbit buku “kacangan” berselera pasar. Ketiadaan naskah dari akademisi dituding sebagai penyebab, yang kemudian dijawab wakil akademisi akibat dari iklim dunia akademik yang tidak kondusif. Namun demikian, kedekatan dunia kampus dengan dunia tulis-menulis tidak terbantahkan.
Salah satu bukti kedekatan itu adalah adanya lembaga pers mahasiswa (LPM). LPM adalah lembaga di mana mahasiswa bisa berlatih menulis, meliput berita, dan mengelola penerbitan. Fakta lain yang tak terbantahkan adalah bahwa dunia penerbitan Yogyakarta banyak lahir dari mereka yang semasa mahasiswa aktif di LPM. Namun disayangkan, menurut penelitian Nuraini Juliastuti (2005), kalau sebelum Reformasi pers kampus diliputi suasana kekritisan (terhadap kekuasaan), pasca-Reformasi banyak pers kampus lahir sebagai bagian dari gaya hidup (life-style).
Kedua, regenerasi dan lahirnya penulis-penulis baru juga berkat banyaknya komunitas-komunitas menulis di Yogyakarta. Di kota ini terdapat komunitas menulis seperti Rumah Lebah, Rumah Poetika, Kajian Jumat Sore, Bulaksumur, Tanda Baca, serta dulu ada Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Komunitas-komunitas ini terbukti melahirkan banyak penulis berbakat. AKY misalnya antara lain melahirkan Eka Kurniawan dan Puthut EA., sementara Rumah Lebah terbukti menelurkan Raudal Tanjung Banua dan Sunlie Thomas Alexander.

Menulis memang aktifitas soliter, yang pada akhirnya dikerjakan sendiri. Namun kehadiran komunitas setidaknya berfungsi sebagai tempat diskusi, saling menyemangati, saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan (entah dengan membeli bersama atau saling pinjam). Sayang komunitas-komunitas tersebut sering tidak mendapat dukungan (baca: kurang dana) untuk berbuat lebih. Sebagai misal, sewaktu Rumah Poetika beberapa waktu lalu mengadakan Forum Penyair Empat Kota, mereka terpaksa menyelenggarakannya secara “pontang-panting” karena tidak banyak mendapat dukungan dana, padahal mereka membawa nama sebagai wakil dari Yogyakarta.
Ketiga, hubungan sesama penulis di Yogyakarta yang lebih cair dan mesra. Senioritas-yunioritas, kalau harus disebut demikian, bukan halangan untuk saling berbagi dan berbincang. Yang senior membimbing yang yunior, sementara yang yunior menghormati yang lebih senior. Ini yang tidak terdapat di kota lain. Sewaktu saya menghadiri peluncuran buletin sebuah komunitas menulis di Solo bulan lalu, banyak teman di sana yang mengeluhkan tidak adanya hubungan harmonis sebagaimana di Yogya. Di sana, yang senior berjalan sendiri, bahkan kemudian tidak betah dengan iklim seperti itu dan berpindah ke kota lain.

Sebagai turunan dari pembimbingan dari yang senior tadi, keempat, lahir kemudian penulis senior yang menjadi semacam “guru”, karena dia memang tiada kenal lelah memberikan bimbingan kepada yang yunior. Pada 1960 hingga 1970-an, di Yogya yang dianggap sebagai “guru” menulis adalah penyair Umbu Landu Paranggi. Meski tidak pernah mengklaim diri demikian, tapi beberapa penulis seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG., Korrie Layun Rampan, Iman Budi Santosa menahbiskannya sebagai “guru” mereka.
Namun, pascapindahnya Umbu ke Bali pada 1975, Yogyakarta seperti kehilangan “guru” yang serius membina yuniornya seperti dia. Beberapa tahun setelahnya, nama Umbu sang “Presiden Malioboro” hanya jadi kenangan sebagai pengharum dunia penulisan Yogyakarta, tanpa pernah menemukan penggantinya.
Baru pada akhir 1990-an muncul “Gus” Zainal Arifin Thoha. Namanya mungkin jauh dari publisitas, tapi perannya dalam memajukan dunia penulisan terutama di pesantren tidak bisa dikata kecil. Beberapa penulis seperti Joni Ariadinata dan Muhidin M. Dahlan menyebut dia sebagai “guru” menulis mereka. Gus Zainal mendirikan pesantren Hasyim Asy’ari dan lembaga penulisan Kutub di bilangan Krapyak, Bantul. Kutub pada tahun-tahun terakhir cukup dikenal di jagad penulisan Yogyakarta.
Namun, takdir ternyata punya logikanya sendiri. Kalau beberapa kalangan seperti Shiho Sawai, peneliti komunitas sastra di Yogyakarta asal Jepang, menyebut Gus Zainal sebagai penerus Umbu, sang penerus itu ternyata lebih cepat mendahului yang digantikan. Pada Maret 2007 lalu Gus Zainal menghadap Sang Pencipta. Siapa pengganti guru penulis Yogya pasca Umbu dan Gus Zainal?

Demikianlah di antara faktor yang menyebabkan proses regenerasi penulis Yogya terus berlangsung hingga kini. Penulis dan dunia kepenulisan tentu tidak bisa diabaikan sebagai penyokong Kota Buku, tidak hanya penerbit, distributor, dan toko buku. Sinergi antara penulis dan penerbit setidaknya harus terbangun. Memang, selama ini, dengan sifatnya yang “kecil”, penerbitan Yogya terkadang abai dengan hak-hak penulis, sehingga menyebabkan penulis Yogya yang sudah dikenal memercayakan penerbitan karyanya pada penerbit luar Yogya. Namun, penulis juga harus berterima kasih kepada penerbitan seperti itu, karena merekalah yang paling berani mengambil risiko ketika sang penulis belum menjadi siapa-siapa.

Read More ->>

Kasus LP Cebongan, Pemda DIY Harus Berbenah

Kasus LP Cebongan, Pemda DIY Harus Berbenah
Oleh: Noor Alfian Asslam (11210023)


Para pelaku penyerangan di LP Cebongan, Sleman, Yogyakarta pada Sabtu (23/3) lalu sampai saat ini masih misterius, Melihat cara kerja dan modus operandinya maka dapat dipastikan pelakunya sangat berani, terlatih dan profesional. Tindakan tersebut sudah terencana dengan baik. Pelaku sangat profesional melancarkan aksinya. Pelaku telah melakukan dengan sangat cermat, sistematis dan cepat. Tidak salah beberapa pengamat mencurigai pihak militer sebagai pelaku yang paling dicurigai. Melihat latar belakang motif, kemampuan dan ketrampilan pelaku tidak ada yang boleh melarang kalau militer paling dicurigai. Meski kelompok lain seperti kelompok preman, teroris atau mafia narkoba internasional juga sudah mulai dijadikan kambing hitam. Kelompok ini secara berkelompok sejumlah 15 orang dengan berani menyerbu lapas dan berhasil menembus penjagaan yang lumayan ketat dan lebih kokoh pintu gerbangnya. Saat itu mereka mengaku polisi dan mengancam meledakkan granat. Mereka dengan gagah berhasil membuka 5 pintu gerbang sebelum menembaki 4 narapidana dengan brutal. Selain menembak empat korban, kawanan penyerang menganiaya delapan petugas lapas menggunakan popor senapan laras panjang. Mereka dianiaya karena mencegah penyerang masuk ke dalam lapas. Untuk menghilangkan jejak, para pelaku mengambil CCTV di dekat sel korban dan di depan pintu masuk lapas. Bila dilihat dari sisi alasan dan motif pembunuhan maka beberapa kelompok patut dicurigai. Saat ini melihat motif dan modus operandinya kecurigaan paling besar diarahkan pada kelompok oknum militer yang terlatih. Kecurigaan lainnya adalah kelompok preman atau teroris. Indikasi motif bagi kelompok premann jaringan narkoba Internasional dan teroris sangat sulit dijelaskan.
Namun dengan peristiwa semacam ini jelas mempunyai dampak dan bisa dijadikan pelajaran khususnya buat orang perantauan yang ada di Jogja. Karena sejauh ini Jogja memang tak pernah kehabisan pengunjung dari berbagai Kota maupun Negara. Selalu meningkatnya orang-orang dari Kota lain yang ada di Jogja jelas-jelas sangat mempengaruhi tingkat kejahatan saat ini. Hal ini lah yang harus dijadikan Pemda DIY untuk berbenah mengatasi keamanan yang ada di Jogja saat ini. Mengingat mekin bertambahnya orang asing saat ini, bukan mustahil tingkat kejahatan bahkan premanisme pun makin merajalela.
Kalau program sistim keamanan dan ketertiban segera dilaksanakan dengan baik di Jogja kali ini, pastinya akan merubah pola pikir orang-orang non Jogja. Dengan itu mereka bisa saling menghargai, tidak semenang-menangan, tidak sok preman. Karena kalau saya amati di Jogja ini, justru orang-orang dari Papua, NTT, Timor-timor memang kerap melakukan ulah pada oknum keamanan dan ketertiban. Mereka sering melanggar tata tertib lalu lintas, mabuk di pinggiran jalan, bahkan berantem sesama warga. Hal inilah yang harus segera terselesaikan dengan baik buat Pemda untuk memperbaiki citra Jogja biar jauh dari tindak kejahatan bahkan premanisme.
Pemda DIY harus berbenah sejak sekarang. Meningkatkan sistem keamanan, tata tertib di jalan raya, serta aktifitas lain yang bisa di jadikan tindak kejahatan. Jogja yang sekarang ini bukan Jogja yang dulu. Kalau dulu Jogja sangat nyaman, belum sepadat ini dengan para pengunjung. Dengan kenyamanan yang sangat baik, pastinya bisa membalikkan citra Jogja sebagai Kota Budaya dan Pelajar. Mengurangi rasa jera orang-orang yang ingin datang di Jogja, untuk itu Pemda DIY harus berbanah. Memperbaiki sistim keamanan dan ketertiban yang saat ini terjadi. Biar nantinya Jogja yang dulu masih tercipta dengan nuansa yang baru. Dan Jogja berhati nyaman slalu menyamankan para pengunjungnya bukan hanya jadi slogan saja. Berbenahlah Jogja..!! 

Read More ->>

PERSADA STUDI KLUB DAN SEJARAH SASTRA YOGYA


PERSADA STUDI KLUB DAN SEJARAH SASTRA YOGYA
8 Desember 2009 oleh ragajiwa
Oleh :
Iman Budhi Santosa
Penyair


Dicatat atau tidak, diakui atau tidak, pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogya (dan juga daerah-daerah lain di Tanah Air kita) tentu memiliki spesifikasinya masing-masing. Misalnya, dinamika serta dialektika kehidupan sastra Indonesia di Jakarta akan tidak sama dengan apa yang terjadi di Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, Madura, Bali. Karena setiap daerah mempunyai latar belakang sosial budaya sendiri-sendiri, yang langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap sikap perilaku, cita-cita, orientasi, visi, gaya hidup para sastrawan yang berdomisili di sana.
Tragika ketakpedulian terhadap nilai prestasi serta jejak-tapak yang telah diperbuat di rumah sendiri, semakin tampak nyata di seputar sejarah keberadaan Persada Studi Klub (PSK). Komunitas penyair (sastrawan) muda di Malioboro tahun 1969-1977, dengan ‘’presidennya’’ Umbu Landu Paranggi dan media berkreasinya Mingguan Pelopor Yogya di jalan Malioboro 175 atas (balkon lantai dua).
Persoalannya, hingga kini, lebih 25 th setelah komunitas itu mati, legenda PSK masih tetap hidup. Setiap membicarakan proses kreatif, sejarah kesastraan Yogya, persahabatan seniman, patron-patron yang dikagumi, etos asah-asih-asuh antar generasi, selalu saja fenomena PSK disangkut-pautkan.
Sementara, mereka yang pernah benar-benar mengalami proses ‘’menggelandang’’ di Malioboro itu, kadang malah merendah jika diminta komentarnya. Ada yang menyatakan sekadar menyalurkan hobi, mencari teman, melepaskan diri dari ketegangan keluarga dan lingkungan, menimba pengalaman sambil kuliah, dan masih banyak lagi.

Mengisi Waktu
Namun, jika benar bergalang-gulung di PSK waktu itu semata-mata ‘’mengisi waktu luang’’, mengapa banyak di antara mereka tetap berprofesi sebagai sastrawan (penulis) maupun jurnalis sampai saat ini? Berdasarkan pengamatan kasar, puluhan penulis yang masih setia hidup di Yogya serta yang bekerja di lain kota dan usianya antara 45 s/d 58 th pernah merasakan ‘’sukma’’ PSK dan Malioboro. Suka atau tak suka, mereka telah memberikan sumbangsihnya terhadap sastra Indonesia. Sekecil apapun prestasi mereka, mereka sudah menjadi bagian dari pilar penyangga kesastraan kita, baik di Yogya maupun Indonesia.
Nah, jika demikian halnya, bukankah PSK jadi mirip semacam ‘’komunitas pendidikan kesastraan’’ non formal yang pernah lahir di Tanah Air kita? Seorang novelis dan cerpenis produktif di Yogya yang ‘’alumi’’ PSK pernah menyatakan dengan tegas, bahwa kecintaan dan semangat profesionalitas kepenulisannya justru dimulai dan terasah sejak bergabung dengan PSK. Seorang jurnalis (eks PSK) yang sampai kini belum pernah ganti profesi, sempat pula menyatakan hal yang sama. Bakat sastra dan jurnalismenya berhasil dipadukan setelah ikut berproses sekian lama di Malioboro.
Meskipun realitasnya PSK pernah membuahkan hasil-hasil positif pada zamannya, namun kisah sejarah komunitas itu sekarang tinggal menjadi ‘’buah bibir’’ para pelakunya. Kadang ditambah, kadang dikurangi. Benar-benar sangat dipengaruhi sudut pandang dan visi penuturnya. Mungkin tak dibayangkan, bahwa akibat penuturan yang asal-asalan tersebut nilai komunitas itu akan semakin kabur. Bahkan, belakangan semakin difahami sebagai mitos. Konon, pernah ada, namun tak jelas duduk persoalannya. Dan gara-gara tak jelas itu, untuk apa dibicarakan lagi? Apa manfaatnya bagi kekinian?

Kesejarahan Sastra
Terlepas perlu tidaknya kisah sejarah PSK (dan fenomena kesejarahan sastra lainnya) bagi orang-orang tua eks PSK, namun pada hakikatnya merangkum kembali seluk-beluk komunitas yang eksis hampir 10 tahun di Yogya itu tetap perlu. Dan justru semakin perlu ketika zaman sudah berubah. Minimal untuk menjelaskan berbagai peristiwa yang melatar belakangi kehidupan sastra, sekaligus memberikan jembatan demi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.
Dalam konteks mewujudkan (mengumpulkan) data-data sejarah komunitas PSK yang menjadi bagian dari sejarah sastra Yogya (dan Indonesia), tugas dan tanggung jawab itu tentunya masih menuntut turun-tangannya mereka yang menjadi pelaku di masa lalu. Sebuah kerja mulia manakala mereka bersedia mewariskan data, fakta (baik atau buruk), agar dapat dikaji dan dijadikan referensi generasi masa kini.
Khusus mengenai komunitas PSK dan Malioboro, serta iklim bersastra dekade 60/70-an, banyak pelakunya yang masih hidup dan bekerja di Yogyakarta. Seperti Ahmad Munif, Mustofa W Hasyim, Emha Ainun Najib, Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi Sarjono, Teguh Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardhana, Fauzi Absal, Arwan Tuti Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Soeparno S Adhy, dan masih banyak lagi. Kendati sekarang jalan sendiri-sendiri, besar kemungkinan mereka tetap mau kembali duduk bersama, misalnya untuk merekonstruksi ulang fakta kesejarahan sastra Yogya yang pernah mereka hayati di masa lalu.
Memang, PSK telah mati. Namun, banyak dari nilai yang mereka gali terus dibudidayakan. Seperti mengenai etos komunalisme kreatif (paguyuban kreatif). Di masa PSK, ada kalangan yang ‘’dipertuakan’’. Sering didatangi, diajak berdebat, dimintai saran. Mereka antara lain: Kuntowijoyo, Darmanto Jt, Abdul Hadi WM, Makmur Makka, Umar Kayam, dll. Belakangan semangat asah-asih-asuh di Yogya semakin terkonstruksi. Sarasehan dan diskusi penulisan meluas di mana-mana.
Tersesat
Sejarah tak ubahnya sebuah peta. Di sana pun tergambar sekian banyak legenda. Dan semua orang mengakui. Tanpa membekal peta lengkap, siapa pun akan mudah tersesat dalam perjalanan. Tentunya demikian pula halnya jika peta sastra Yogya tak pernah dibuat. Banyak orang akan kebingungan ketika memasukinya. Dan bagaimana jadinya kalau benar-benar tersesat?
Untuk sekadar contoh, sejak tahun 60-an hingga kini, ada saja penyair Yogya yang ‘’gila’’, dan (maaf) sungguh-sungguh menjadi gila (berubah ingatan). Memasuki belantara sastra Yogya tampaknya memang mudah dan menjanjikan. Namun, keliru kalau difahami sebagai perjalanan wisata. Bersastra di Yogya benar-benar memerlukan ketahanan mental dan fisik berlipat-ganda. Untuk itu, fakta kesejarahan PSK telah banyak merekamnya.
Meskipun sastrawan (penulis) eks PSK rata-rata sudah mendekati usia senja, namun tugas dan tanggung jawab kebudayaan mereka belum selesai. Jika di era 70-an berproses habis-habisan demi kepentingan pribadi, kini beban yang disandangnya justru lebih besar. Yaitu, merangkum sejarah perjalanan mereka yang menjadi bagian penting dari sejarah sastra Yogya. Membiarkan aspek-aspek kesejarahan itu tenggelam dan dilupakan, sama halnya menciptakan jurang pemisah yang maha dalam antara generasi masa lalu dan masa kini.
Karena itulah, tak ada kata terlambat. Meski sudah tersimpan berdebu 25 th, arsip kesejarahan itu tetap perlu dimunculkan ke permukaan. Agar sekaligus dapat dijadikan pemicu lahirnya sejarah sastra Yogya yang lebih besar. Bisa jadi mereka dapat mengadakan semacam ‘’reuni’’. Bukan untuk kangen-kangenan saja, melainkan untuk ikut memikirkan sebuah kerja besar: Penulisan Sejarah Sastra Yogya yang layak dibukukan.
Semoga, ada di antara mereka yang terpanggil. Kemudian ikut memanggil, untuk bersama-sama mengumpulkan catatan demi catatan yang tersimpan dalam saku. Karena sejarah sastra Yogya pada hakikatnya tersimpan dan menyatu dengan sejarah kehidupan banyak orang yang pernah berada di dalamnya, serta meyakini sastra adalah ekspresi peradaban umat manusia yang perlu dan harus tetap ada di sepanjang masa. q-m

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 31 Agustus 2003.

Read More ->>

Senin, 15 April 2013

TEASA Lintas Generasi, Harapan Baru TEASA dan Kesenian Pati


TEASA Lintas Generasi, Harapan Baru TEASA dan Kesenian Pati
Oleh Noor Alfian Asslam


Teater Salafiyah atau yang biasa di sebut TEASA.  Sebuah media dakwah bagi pelajar Madrasah Salafiyah Kajen. Teater yang dibentuk pada tahun 2007 itu hingga sekarang telah merubah dinamika teater di Kota Pati. Banyak prestasi yang telah di dapat TEASA, yaitu juara 2 Teater tingkat Se-Karisedenan Pati pada tahun 2008, juara 2 Teater se-Karisendan Pati pada tahun 2009, juara 1 Drama Bahasa Arab di Unnes pada tahun 2009, dan juga juara drama tingkat Kecamatan.  TEASA yang dilatih Arif Sutoyo tersendiri telah menjadi magnet ekstra kulikuler terfavorit yang ada di MA Salafiyah. 
Hal ini bisa dibuktikan pada tiap tahunnya, bawha siswa-siswi yang mau ikut teater semakin meningkat. Namun mereka harus bersaing dengan teman-teman lainnya untuk bisa masuk TEASA. Karena TEASA membatasi peserta yang memiliki potensi yang istimewa untuk masuk dan bergabung di TEASA. Tentunya mereka yang punya acting baik, serta memiliki tanggung jawab dan konsisten lah yang berhak bergabung di TEASA. TEASA kin telah berkembang pesat. Saat ini telah menghasilkan 6 generasi. Baik yang sudah lulus sekolah maupun yang masih aktif sekolah. Dan tentunya mereka yang sudah lulus sekolah mempunyai prestasi yang lumayan baik ketika masih sekolah. Tercatat mereka yang telah lulus sekolah kini telah melanjutakan ke Perguruan Tinggi Nasional maupun Swasta. Ada yang di Yogyakarta, Semarang, Jakarta, Surabaya, Kudus maupun Pati.
Dan hal itu di manfaatkan betul oleh Jono, Alfian dan Hakim. Mereka bertiga membentuk TEASA khusus alumni yang mereka namai TEASA Lintas Genarasi. Dengan tujuan sebagai wadah tempat  berkarya para alumni TEASA untuk selalu berkesenian, bersilaturrahmi para alumni, serta meningkatkan dan menambah pengetahuan bagi adik-adik yang masih sekolah dalam masalah teater maupun drama. Jelas dengan terbentuknya TEASA Lintas Generasi akan selalu menambah perubahan serta suntikan moril buat mereka yang duduk di bangku sekolah. Awalnya mereka bertiga yaitu, Jono, Alfian dan Hakim itu saling sharing mengenai kesenia Jogja. Dengan keresahan mereka melihat kesenian di Pati yang masih minim, akhirnya terbentuk lah TEASA Lintas Generasi. Harapannya untuk merubah dinamika kesenian di Salafiyah serta di Pati sendiri. TEASA Lintas Generasi pun telah diresmikan oleh Ketua Yayasan Salafiyah yaitu Bp. H. Ulil Albab, S,Ag. Peresmian itupun bersama melengkapi rangkaian acara TEASA Pulang Kampung yang pertama. Acara yang dilaksanakan pada 24 November 2012 itu telah mendapat apresiasi yang luar biasa dari kalangan siswa-siswi  MA Salafiyah maupun para guru-guru. Banyak pementasan yang telah mewarnai acara tersebut. Diantaranya penampilan siswa-siswi MA Salafiyah itu sendiri dan tak ketinggalan para alumni semakin melengkapi dengan pementasannya.  Dan diharapkan acara TEASA Pulang Kampung ini terlaksana setiap tahunnya sebagai media silaturahmi antar alumni serta ikut merubah dinamika kesenian di MA Salafiyah maupun Pati.
TEASA Lintas Generasi kini telah menjadi harapan tersendiri bagi anggotannya yang masih duduk di bangku sekolah. Meraka semakin lebih bersemangat lagi untuk selalu berkarya lewat aksi-aksinnya. Dan diharapkan juga untuk selalu berpestasi yang lebih baik lagi dari sebelumnya. Kini TEASA Lintas Generasi bisa menjadi harapan baru untuk membawa TEASA menjadi lebih baik lagi. Serta merubah dinamika kesenian local di MA Salafiyah maupun di Kota sendiri. Dengan banyaknya alumni yang telah berkecimpung di dunia sastra bahkan ada yang di teater. Jelas hal itu menjadi harapan baru bagi TEASA untuk saling berbagi ilmu yang bermanfaat khususnya dalam bidang sastra dan teater.


Yogyakarta, 15 April 2013
Read More ->>

Sekilas Tentang Saya






Profil Diri

Nama Lengkap :
Noor Alfian Asslam

Nama Panggilan :
Fian

Tentang Diri :
Saya lahir pada tanggal 12 Maret 1992. Lahir di sebuah Desa Ngemplak Kidul-Margoyoso-Pati. Saya anak pertama dari Sabar Santoso dan Solikhatun. Saya mempunyai adik perempuan satu namanya Alfiani  Maula Husna Faradhila. Saya dulu bertempat tinggal di Ngemplak Kidul. Namun pada tahun 2009 aku pindah di Kajen tepatnya di sebelah selatan Lapangan Yasin Kajen.  Sebuah desa yang nyaman bagiku. Ya desa Kajen lah. Desanya para santri, para kyai-kyai serta waliyullah K.H Ahmad Muttamaqin. Saya nyaman berada di Kajen. Suasana yang tidak pernah aku dapat ketika aku masih kecil.  Desa Kajen kini menjadi saksi kedewasaanku. Harapan untuk merubah Kajen menjadi Desa yang lebih berkembang, damai, dan kreatif itu adalah rangkaian harapan yang timbul sebagai jiwa pemuda dalam diriku. Merubah Kajen lebih representative dengan berbagai kegiatan-kegiatan yang bermanfaat, banyak kesenian-kesenian itu lah yang saya harapkan. Saya kini masih menempuh S1 di sebuah kampus di Yogyakarta. UIN Sunan Kalijaga itulah nama kampusku. Sebuah kampus yang sangat menunjang aku untuk meraih cita-citaku kelak untuk bisa membanggakan kedua orang tua, merubah masyarakatku, dan merubah Negeriku untuk lebih baik lagi.

Riwayat Pendidikan :
Saya lulus dari SD N Kajen pada tahun angkatan 2003-2004. Saya menempuh sekolah tingkat dasar selama 6 tahun. kemudian ketika lulus terus saya melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 1 Tayu. Sebuah sekolah favorit se-Kab Pati nomer 4 pada waktu itu. Saya menghabiskan waktu 3 tahun di sana. Terus saya lulus pada tahun 2007. Kemudian saya melanjutkan sekolah di Desa saya sendiri. Sekolah yang dekat dari rumah sendiri dan pastinya lebih efektif. Saya Sekolah di Madrasah Aliyah Salafiyak Kajen. Kemudian lulus pada tahun 2010. Ketika sudah lulus saya tidak langsung melanjutkan kuliah, karena masalah ekonomi yang terjadi pada keluarga saya ketika habis pindah rumah di Kajen. Kemudian menginjak tahun 2011 saya diperbolehkan melanjutkan kuliah. Ketika itu saya ikut jalur Ujian Masuk lewat program SPMB-PTAIN di UIN Sunan Kalijaga Alhamdulillah ujian pertama langsung sukses dengan prodi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Hingga sampai ini saya masih menjalankan S1 saya di UIN Sunan Kalijaga.
Riwayat  Organisasi :
Di mulai ketika di waktu MA. Saya terpilih menjadi Ketua Keluarga Pelajar Salafiyah (OSIS) pada tahun angkatan 2008-2009. Sebuah jabat yang sangat berat bagi saya karena ketika SMP belum pernah berorganisasi sama sekali. Tapi Alhamdulillah bisa menyelesaikannya dengan baik atas bantuan teman-teman yang sangat istimewa disekeliling saya. Ketika di kampus saya iku UKM (Unit Kegioatan Mahasiswa) yaitu JCM (Jamaah Cinema Mahasiswa). Sebuah UKM yang berbasis tentang perfilm-an. Disini saya mendapatkan banyak ilmu tentang dunia perfilm-an. Kemudai saya diangkat jadi Ketua Komunitas PASYO (Paguyuban Alumni Salafiyah Yogyakarta) pada tahun 2012-2013. PASYO merupakan sebuah pagayuban alumni Salafiyak yang melanjutkan pendidikan di Yogyakarta.

Mott Hidup :
Lebih baik diasingkan dari pada menyerah terhadap kemunafikan.
Hobi :
Nonton Sepak Bola, Dengerin musik, Main Musik, Baca buku, Menulis, dan Nyanyi.
Buku Favorit :
Novel karya “Dewi dee Lestari”. Buku-buku tentang Gus Dur. Buku karya Emha Ainun Najib.
Tokoh Pujaan :
Emha Ainun Najib, Gus Dur, Dewi Lestari dan Dahlan Iskhan.
Read More ->>

Jumat, 12 April 2013

SASTRA YOGYA TIDAK PERNAH MATI


SASTRA YOGYA TIDAK PERNAH MATI
Oleh :
Sri Wintala Achmad

Penulis Sastra, Tinggal di Yogyakarta.



Sejak Persada Studi Klub (PSK) hingga sekarang, telah ratusan sastrawan dilahirkan di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, sebagian mereka masih banyak yang konsisten sebagai penulis sastra. Namun, sebagian lainnya memilih pensiun. Mengingat profesi lain dipertimbangkan lebih memberikan harapan akan perbaikan nasib ekonomis dirinya dan keluarganya di hari kelak.
Diakui melalui PSK yang didirikan Umbu Landu Paranggi, Suwarno Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara dan Iman Budi Santosa telah memberikan kontribusi positif atas geliat sastra di Yogyakarta. Tidak hanya kala itu, melainkan gemanya masih kita tangkap sampai detik ini. Sekadar menyebut nama, semisal: Iman Budi Santosa, Fauzi Absal dan lain-lain, masih konsisten sebagai sastrawan.
Konsistensi dari beberapa sastrawan PSK yang pula turut memperjuangkan pertumbuh-kembangan sastra di Yogyakarta tersebut telah mengukuhkan legitimasi bahwa mereka adalah para suhu (baca: bukan pendekar) sastra. Tempat jujugan (tujuan) para sastrawan pemula menimba ilmu sastra. Mereka akan selalu mengajarkan: karya sastra bukan sekadar permainan kata-kata indah. Akan tetapi, karya sastra seyogianya ditangkap sebagai refleksi pengalaman empirik literer yang diciptakan sastrawan melalui proses pengamatan, pencerapan, metabolisme (pengendapan), penuangan dan revisi berulang kali. Hingga karya sastra mencapai tingkat kesempurnaannya.
Sekalipun demikian, mereka akan sadar bahwa geliat sastra Yogyakarta di hari kelak tetap tergantung di tangan generasinya selama menekuni proses kreativitasnya. Karena itu, kebulatan tekad generasi sastra guna menguasai teknik penuangan, memperkokoh spesifikasi gaya penciptaan, mempertajam sense dan intelektual (imajinasi, intuisi dan logika), serta pemahaman akan ilmu bahasa, filsafat dan pengetahuan lain sangat diperlukan.
Langkah lain yang harus ditempuh oleh generasi sastra, yakni: pertama, banyak membaca karya dari sastrawan lain baik yang dipublikasikan melalui media massa, buku, dan situs sastra di internet. Dengan banyak membaca karya dari sastrawan lain, generasi sastra akan mendapatkan referensi dan termotivasi untuk selalu menciptakan karya yang memiliki standar kualitasnya.
Kedua, menjalin interaksi kreatif dengan sesama sastrawan secara intensif. Langkah ini dianggap efektif guna menunjang spirit proses penciptaan karya sastra. Tingkat efektivitasnya tidak hanya dibuktikan oleh para sastrawan PSK. Para sastrawan pasca PSK seangkatan Andrik Purwasito, Ahmadun Y Herfanda, Bambang Widiatmoko, Joko Pinurbo, Ida Ayu Galuh Pethak, Nana Irnawati, Indra Tranggono, Denok Kristianti, Marjuddin Suaeb, Budi Nugroho, Usdika Ibranora pula membangun jalinan interaksi kreatif antar-sastrawan baik melalui media sanggar maupun kelompok studi sastra.

Bahkan aktivitas Pengadilan Puisi versi Lingkar Kreativitas Sastra Yogya telah diarahkan sebagai medium interaksi kreatif antar-sastrawan muda pada penghujung dekade 80-an hingga awal dekade 90-an itu. Hingga beberapa nama sastrawan, semisal: Hamdy Salad, Dorothea Rosa Herliany, Adi Wicaksono, Agus Noor, Abidah El Khalieqi, Mathori A Elwa, Ahmad Syubanuddin Alwi, Otto Sukatno CR, Whani Darmawan, Sufat Farida, Ulfatin CH, Lephen Purwarahardja, Achid BS, Rina Ratih Sri Sudaryani, Mukti Haryadi, Ismet NM Harris, M Nurgani Asyik, Syam Candra Mentik dan lain-lain menyemerbak serupa bunga-bunga di taman sastra Yogyakarta.
Sayang memang, aktivitas sastra yang diselenggarakan oleh Lingkar Kreativitas Sastra Yogya secara mobil dari rumah sastrawan satu ke rumah sastrawan lainnya atau dari kampus satu ke kampus lainnya itu, hanya berlangsung beberapa tahun. Namun, keberakhiran aktivitas tersebut tidak berarti keberakhiran sastra di Yogyakarta. Secara faktual, Sigit Sugito membentuk Paguyuban Teater Bantul (PTB). Paguyuban ini tidak sekadar sebagai wadah aktivitas teater, melainkan pula sebagai medium interaksi kreatif sesama sastrawan Bantul khususnya dan Yogyakarta umumnya.
Di luar dugaan, Suwarno Pragolapati pun turut turun gunung untuk menggairahkan kehidupan sastra di Yogyakarta. Melalui Sanggar Yogya Sastra Pers (SYS), Mas Warno mengumpulkan para generasi muda yang berminat untuk menulis karya sastra. Selain itu, melalui dukungan Sumantri Citropati, berbagai acara sastra seperti pertunjukan dan diskusi dapat diselenggarakan di Perwatin secara intensif. Hingga Perwatin (awal dekade 90-an) telah menjadi media interaksi kreatif efektif bagi para sastrawan. Ajang diskusi sastra yang terbuka sampai fajar tiba. Luar biasa! Berkat dukungan dari kawan-kawannya, kerja keras Mas Warno tidak sia-sia. Terbukti beliau mampu membangkitkan kembali proses kreativitas literer Kuswahyo SS Rahardjo almarhum yang telah membeku sekian tahun. Kelahiran Muhammad Fuad Riyadi dan Endang Susanti Rustamadji di dunia sastra Yogyakarta tidak dapat dilepaskan dari bimbingan beliau.
Lagi-lagi sejarah membuktikan bahwa sastra Yogyakarta tidak pernah mati. Sekalipun beberapa kelompok pengembang sastra, seperti; PSK, Lingkar Kreativitas Sastra Yogya, PTB dan SYS telah mengakhiri aktivitasnya. Paruh dekade 90-an, Asa Jatmiko dkk telah membentuk Himpunan Sastrawan Muda Indonesia (HISMI). Aktivitas sastra yang mendapatkan dukungan dari Taman Budaya Yogyakarta (TBY) itu mampu memberikan kontribusi kepada sastrawan muda di dalam meniti proses kreativitasnya.
Baru pada pasca 2000 sesudah HISMI berangsur-angsur tidak menggeliatkan aktivitas sastranya, persoalan regenerasi sastrawan yang efektif di Yogyakarta tampak muncul di permukaan. Hingga nama-nama semisal Hasta Indriyana, Pay Jarot Sujarwo, Abror Y Prabowo, Y Wibowo, Sriyono Daningrono, Bambang Susilo dkk harus meluangkan waktu buat ngangsu kawruh (menimba pengetahuan) sastra dari rumah ke rumah para suhu sastra.
Upaya para generasi sastra di dalam melakukan interaksi kreatif di bidang sastra tersebut merupakan langkah taktis guna meningkatkan kualitas karya-karyanya. Agar eksistensi kesastrawanannya tidak diragukan lagi sebagaimana para generasi sebelumnya yang masih eksis di Yogyakarta kala itu, seperti: Raudal Tanjung Banua, Satmoko Budi Santoso, Aning Ayu Kusuma, Edi AH Iyubenu, Ita Dian Novita, Zainal Arifin Thoha, Kuswaidi Syafi’ie, Akhmad Muhaimin Azzet, Abdul Azis Sukarno dll.
Apa yang sekilas saya paparkan di atas, seyogianya ditangkap sebagai sumbangsih pemikiran atas kegelisahan Sunardian Wirodono tentang masa depan sastra Yogyakarta, yang mana nasibnya sangat tergantung pada sikap generasi berikutnya itu. Karenanya, apabila sastra diibaratkan sebagai kereta, maka para generasi sastra harus mampu menjawab buat apa dan untuk siapa sastra diciptakan, serta melalui jalan mana dan ke mana sastra diarahkan? Persoalan ini harus dijawab terlebih dulu. Agar penciptaan karya sastra tidak diasumsikan dengan membangun rumah mimpi yang sekadar membawa kehidupan manusia jauh dari bumi pijakan.
Dengan memahami konsepsi dan motivasi di dalam penciptaan karya sastra, para generasi tersebut niscaya mampu menciptakan image bahwa masa depan kehidupan sastra di Yogyakarta niscaya kian membaik. Di mana sastrawan-sastrawan arif dan rendah hati bakal dilahirkan. Sekelompok insan yang selalu memosisikan sastra sebagai media pembelajaran kehidupannya. Hingga mereka serupa suhu bagi dirinya sendiri. Bukan pendekar di dunia persilatan, yang selalu menganggap pihak-pihak berseberangan sebagai lawan bebuyutan.
Terakhir ditandaskan, pemerhati sastra (baca: penyair) Sunardian Wirodono tidak perlu menggelisahkan perihal masa depan sastra di Yogyakarta. Mengingat solusi arif atas persoalan tersebut bukan polemik kusir berkepanjangan, melainkan apa yang mampu dilakukan seoptimal mungkin di dalam upaya menumbuhkembangkan sastra di kota ini. Hingga Yogyakarta yang diasumsikan sebagai salah satu barometer sastra di Indonesia senantiasa terjaga eksistensinya.


Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 3 November 2006.

Read More ->>
Diberdayakan oleh Blogger.