Aku, FLP, dan Dakwah Menulis
Oleh N Alfian A
Tahun
1960-1975 merupakan saksi sejarah bagi perkembangan penulis Yogyakarta pada
waktu itu. Umbu Landa Paranggi lah “sang guru” yang telah merubah dinamika para
penulis maupun penyair Yogyakarta saat itu. Banyak penulis maupun penyair lahir
bersama dia. Mulai dari Emha Ainun Najib, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Imam Budi
Santoso, Teguh Ranusastra, dan masih banyak lagi. Bersama Umbu, mereka
membentuk sebuah komunitas sastra yang mereka beri nama Persada Studi Klub
(PSK). Sejak waktu itulah jejak tangan penulisan diantara mereka telah mewarnai
berbagai macam media cetak. Dan tak dipungkiri juga, penyair sekalas WS Rendra
pun tak pernah lepas dari kehidupan PSK. Semenjak sepeninggalannya Umbu ke
Bali, PSK hanya bertahan sampai dua tahun saja sampai sekarang ini.
Namun
jejak mereka masih berkeliaran di sana-sini mewarnai dinamika penulis
Yogyakarta saat ini. Hingga ikut mewarnai dinamika Sastra Indonesisa dengan
Sastra Yogya yang didirikan mereka. Dengan masih hidupnya mereka yang telah
mengenyam pelajaran di PSK, mestinya hal ini sangat mendorong untuk menjadikan
Yogyakarta sebagai Kotanya para penulis maupun Yogyakarta sebagai Kota Buku.
Dengan banyaknya pusat akademis yang mendukung, semakin menjadi pelengkap bahwa
Yogyakarta merupakan Kota Pendidikan dengan banyaknya Sekolah maupun Perguruan
Tinggi baik Swasta maupun Negeri. Serta didukung cultur kebudayaan Yogyakarta
yang ramah dan santun.
Mengingingat
memori dunia penulis Yogyakarta era 70-an sangat perlu untuk dijadikan acuan
untuk melengkah ke jenjang yang lebih baik lagi. Tapi regenerasi untuk
mengikuti jejak mereka menjadi penulis harus ditunjang dengan samangat para
pemuda saat ini, untuk terus menciptakan iklim yang harmonis dari sebuah
kelompok ke kelompok lain guna menunjang bakat para penulis muda saat ini. Regenerasi
memang perlu untuk dunia penulis muda Yogyakarta. Makin banyaknya komunitas
penulis mulai dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sangat berarti untuk melanjutkan tren penulis
Yogyakarta pada waktu itu. Munculnya berbagai komunitas sangat diharapkan untuk
menyemangati kawula muda untuk giat membaca dan menulis.
Salah
satunya Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta. Sebuah komunitas para penggores
pena yang didalamnya terdiri dari berbagai manusia daerah serta ragam budaya
itu, hingga kini telah menginjak generasi yang ke lima belas. Pastinya
komunitas telah melahirkan banyak penulis handal yang tersebar di penjuru
negeri ini. Semakin menandai bahwa dunia penulis Yogyakarta saat ini telah
mengalami regenerasi. Tinggal kita menuggu karya dari mereka. Memang menulis
itu sebuah aktifitas berdiam diri dan karya lah hasilnya. Namun dengan berkembangnya
komunitas penulis di Yogyakarta, bisa berfungsi sebagai tempat diskusi, saling
menyemangati, saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan
(entah dengan membeli bersama atau saling pinjam). Menulis memang tak pernah
lepas dari membaca. Bahkan guru terhebat dalam menulis itu pun membaca. Dengan
membaca kita akan tahu segala sesuatu, keilmuwan, wawasan bahkan pola pikir.
Membaca dan menulis memang ibarat dua sejoli yang tak pernah terpisahkan dalam
dunia penulisan. Bila ada orang beranggapan bahwa “membaca itu membuang waktu”,
lebih baik saling bertukar pikiran atau sharing. Hal itu salah besar. Membaca
itu ibarat sebuah senjata, dan menulis itu yang jadi pelurunya. Dengan kita
membaca kita akan bisa menghempaskan segala sesuatu dan tulisan lah yang akan
jadi buktinya. Tulisan akan jadi saksi terhempasnya segala sesuatu yang itu di
nilai baik, buruk, maupun di luar batas.
Melihat
asumsi di media massa, bahwa FLP merupakan dunia penulis fiksi, maupun nonfiksi
hingga seni peran. Hal ini sangat memacu saya untuk bergabung di sini. Menimba
ilmu untuk dijadikan pelengkap untuk mengembangkan jiwa kepenulisan saya untuk
selalu berkarya. Serta merubah statement yang ada di media massa. Bahwa, “Masihkah Yogyakarta sekarang melahirkan
penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an?”. Saya meyakini
bahwa regenerasi penulis di Yogyakarta saat ini telah berkembang pesat. Hal itu
bisa dibuktikan semakin banyaknya industri percetakan di Yogyakarta banyak dan
berkembang pesat. Dan sangat menunjang untuk karya-karya penulis muda saat ini.
Berbagai komunitas penulis maupun Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sangat melopori
untuk meyakini, bahwa Yogyakarta era 70-an telah tinggal kenangan, tapi
Yogyakarta era sekarang akan selalu mewarnai Yogyakrta era 70-an dengan para
semangat juang para penulis muda.
Pastinya
FLP telah menganjurkan kepada anggotanya untuk selalu giat menulis di berbagai
media massa. Hal ini bisa melatih jiwa Jurnalistik para anggota. Menulis di
media sangat perlu. Sebagai sarana dakwah yang efisien dengan ditunjuang
tulisan-tulisan yang mudah dimengerti oleh pembacanya. Baik itu fiksi maupun
non fiksi. Kalau kita melihat penulis karya seperti Dewi dee Lestari, pastinya
di angan-angan pasti sering bertanya-tanya. Bahkan saya sendiri sangat
mengagumi karya dia. Seolah-olah karya yang diciptakan dia memiliki unsur
kenyataan yang kuat tetapi banyak diselipkan hal-hal yang tabu yang sulit tak
terjamahkan. Seperti halnya pada karya dia “Perahu Kertas”. Kita menemukan hal
yang tabu seperti Sang Dewa Laut yang bernama Neptunus. Menemukan hal semacam
itu, rasa penasaran semakin menyelimuti diriku. Dari mana Dewi Lestari
menemukan Neptunus. Realitakah adanya sebuah Radar Neptunus dengan membentuk
kedua jari kanan-kiri seperti tanduk di atas kepala. Dan masih banyak lagi
karya Dewi Lestari yang membuatku bertanya-tanya. Karena saya penikmat karya
Dewi Lestari.
Harapan
saya bergabung FLP, untuk meningkatkan jiwa kepenulisan yang ada dalam diri ini.
Baik karya fiksi maupun non fiksi itu sama saja. Karena dalam benak saya,
berkarya lewat tulisan itu tidak bisa diukur dari fiksi maupun non fiksi.
Melainkan sebuah karya tulisan apapun yang itu bisa meyakini pembacanya untuk
berbuat yang lebih baik. Dan itu bisa dikatakan sebagai sarana dakwah. Ketika
sebuah tulisan bisa merubah pola pikir manusia menjadi lebih untuk selalu
menjalankan syariat agama. Dakwah bukan harus berceramah di berbagai masjid
maupun rumah. Dengan berkembang pesatnya media massa, ini bisa menunjang sarana
dakwah yang lebih representative lagi. Tentunya lewat tulisan-tulisan yang bisa
bermanfaat untuk semua orang.
Menulis adalah bagian yang penting
dalam hidup. Menjadi seorang jurnalis merupakan pekerjaan yang sangat mulia,
karena kita telah mengubah masyarakat akan sebuah informasi yang terjadi saat
ini. Dan seharusnya umat islam harus memiliki media tersendiri untuk mengembangkan dakwah lewat para jurnalis.
Dan itu bisa di buktikan ketika saya membaca sebuah artikel dalam blog, bahwa
pena seorang jurnalis mampu merubah kebodohan menjadi peradaban yang lebih baik
serta maju di berbagai aspek.
Sehingga nantinya FLP terus mencetak
para penulis muda yang handal di berbagai aspek. Dan meyakini bahwaka dunia
kepenulisan era 70-an sekarang berada di FLP. Para pemuda yang resah akan
sesuatu, tetapi di goreskan di selambar kertas, guna meyakinkan para pembaca
yang minim akan bahan bacaan. Menulis dari yang resah hingga sebuah kewajiban,
semakin erat dalam merubah dunia dari yang namanya pembodohan.