Selasa, 23 April 2013

Aku, FLP, dan Dakwah Menulis


Aku, FLP, dan Dakwah Menulis
Oleh N Alfian A

Tahun 1960-1975 merupakan saksi sejarah bagi perkembangan penulis Yogyakarta pada waktu itu. Umbu Landa Paranggi lah “sang guru” yang telah merubah dinamika para penulis maupun penyair Yogyakarta saat itu. Banyak penulis maupun penyair lahir bersama dia. Mulai dari Emha Ainun Najib, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Imam Budi Santoso, Teguh Ranusastra, dan masih banyak lagi. Bersama Umbu, mereka membentuk sebuah komunitas sastra yang mereka beri nama Persada Studi Klub (PSK). Sejak waktu itulah jejak tangan penulisan diantara mereka telah mewarnai berbagai macam media cetak. Dan tak dipungkiri juga, penyair sekalas WS Rendra pun tak pernah lepas dari kehidupan PSK. Semenjak sepeninggalannya Umbu ke Bali, PSK hanya bertahan sampai dua tahun saja sampai sekarang ini.
Namun jejak mereka masih berkeliaran di sana-sini mewarnai dinamika penulis Yogyakarta saat ini. Hingga ikut mewarnai dinamika Sastra Indonesisa dengan Sastra Yogya yang didirikan mereka. Dengan masih hidupnya mereka yang telah mengenyam pelajaran di PSK, mestinya hal ini sangat mendorong untuk menjadikan Yogyakarta sebagai Kotanya para penulis maupun Yogyakarta sebagai Kota Buku. Dengan banyaknya pusat akademis yang mendukung, semakin menjadi pelengkap bahwa Yogyakarta merupakan Kota Pendidikan dengan banyaknya Sekolah maupun Perguruan Tinggi baik Swasta maupun Negeri. Serta didukung cultur kebudayaan Yogyakarta yang ramah dan santun.
Mengingingat memori dunia penulis Yogyakarta era 70-an sangat perlu untuk dijadikan acuan untuk melengkah ke jenjang yang lebih baik lagi. Tapi regenerasi untuk mengikuti jejak mereka menjadi penulis harus ditunjang dengan samangat para pemuda saat ini, untuk terus menciptakan iklim yang harmonis dari sebuah kelompok ke kelompok lain guna menunjang bakat para penulis muda saat ini. Regenerasi memang perlu untuk dunia penulis muda Yogyakarta. Makin banyaknya komunitas penulis mulai dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM)  sangat berarti untuk melanjutkan tren penulis Yogyakarta pada waktu itu. Munculnya berbagai komunitas sangat diharapkan untuk menyemangati kawula muda untuk giat membaca dan menulis.
Salah satunya Forum Lingkar Pena (FLP) Yogyakarta. Sebuah komunitas para penggores pena yang didalamnya terdiri dari berbagai manusia daerah serta ragam budaya itu, hingga kini telah menginjak generasi yang ke lima belas. Pastinya komunitas telah melahirkan banyak penulis handal yang tersebar di penjuru negeri ini. Semakin menandai bahwa dunia penulis Yogyakarta saat ini telah mengalami regenerasi. Tinggal kita menuggu karya dari mereka. Memang menulis itu sebuah aktifitas berdiam diri dan karya lah hasilnya. Namun dengan berkembangnya komunitas penulis di Yogyakarta, bisa berfungsi sebagai tempat diskusi, saling menyemangati, saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan (entah dengan membeli bersama atau saling pinjam). Menulis memang tak pernah lepas dari membaca. Bahkan guru terhebat dalam menulis itu pun membaca. Dengan membaca kita akan tahu segala sesuatu, keilmuwan, wawasan bahkan pola pikir. Membaca dan menulis memang ibarat dua sejoli yang tak pernah terpisahkan dalam dunia penulisan. Bila ada orang beranggapan bahwa “membaca itu membuang waktu”, lebih baik saling bertukar pikiran atau sharing. Hal itu salah besar. Membaca itu ibarat sebuah senjata, dan menulis itu yang jadi pelurunya. Dengan kita membaca kita akan bisa menghempaskan segala sesuatu dan tulisan lah yang akan jadi buktinya. Tulisan akan jadi saksi terhempasnya segala sesuatu yang itu di nilai baik, buruk, maupun di luar batas.
Melihat asumsi di media massa, bahwa FLP merupakan dunia penulis fiksi, maupun nonfiksi hingga seni peran. Hal ini sangat memacu saya untuk bergabung di sini. Menimba ilmu untuk dijadikan pelengkap untuk mengembangkan jiwa kepenulisan saya untuk selalu berkarya. Serta merubah statement yang ada di media massa. Bahwa, “Masihkah Yogyakarta sekarang melahirkan penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an?”. Saya meyakini bahwa regenerasi penulis di Yogyakarta saat ini telah berkembang pesat. Hal itu bisa dibuktikan semakin banyaknya industri percetakan di Yogyakarta banyak dan berkembang pesat. Dan sangat menunjang untuk karya-karya penulis muda saat ini. Berbagai komunitas penulis maupun Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) sangat melopori untuk meyakini, bahwa Yogyakarta era 70-an telah tinggal kenangan, tapi Yogyakarta era sekarang akan selalu mewarnai Yogyakrta era 70-an dengan para semangat juang para penulis muda.
Pastinya FLP telah menganjurkan kepada anggotanya untuk selalu giat menulis di berbagai media massa. Hal ini bisa melatih jiwa Jurnalistik para anggota. Menulis di media sangat perlu. Sebagai sarana dakwah yang efisien dengan ditunjuang tulisan-tulisan yang mudah dimengerti oleh pembacanya. Baik itu fiksi maupun non fiksi. Kalau kita melihat penulis karya seperti Dewi dee Lestari, pastinya di angan-angan pasti sering bertanya-tanya. Bahkan saya sendiri sangat mengagumi karya dia. Seolah-olah karya yang diciptakan dia memiliki unsur kenyataan yang kuat tetapi banyak diselipkan hal-hal yang tabu yang sulit tak terjamahkan. Seperti halnya pada karya dia “Perahu Kertas”. Kita menemukan hal yang tabu seperti Sang Dewa Laut yang bernama Neptunus. Menemukan hal semacam itu, rasa penasaran semakin menyelimuti diriku. Dari mana Dewi Lestari menemukan Neptunus. Realitakah adanya sebuah Radar Neptunus dengan membentuk kedua jari kanan-kiri seperti tanduk di atas kepala. Dan masih banyak lagi karya Dewi Lestari yang membuatku bertanya-tanya. Karena saya penikmat karya Dewi Lestari.
Harapan saya bergabung FLP, untuk meningkatkan jiwa kepenulisan yang ada dalam diri ini. Baik karya fiksi maupun non fiksi itu sama saja. Karena dalam benak saya, berkarya lewat tulisan itu tidak bisa diukur dari fiksi maupun non fiksi. Melainkan sebuah karya tulisan apapun yang itu bisa meyakini pembacanya untuk berbuat yang lebih baik. Dan itu bisa dikatakan sebagai sarana dakwah. Ketika sebuah tulisan bisa merubah pola pikir manusia menjadi lebih untuk selalu menjalankan syariat agama. Dakwah bukan harus berceramah di berbagai masjid maupun rumah. Dengan berkembang pesatnya media massa, ini bisa menunjang sarana dakwah yang lebih representative lagi. Tentunya lewat tulisan-tulisan yang bisa bermanfaat untuk semua orang.
            Menulis adalah bagian yang penting dalam hidup. Menjadi seorang jurnalis merupakan pekerjaan yang sangat mulia, karena kita telah mengubah masyarakat akan sebuah informasi yang terjadi saat ini. Dan seharusnya umat islam harus memiliki media tersendiri  untuk mengembangkan dakwah lewat para jurnalis. Dan itu bisa di buktikan ketika saya membaca sebuah artikel dalam blog, bahwa pena seorang jurnalis mampu merubah kebodohan menjadi peradaban yang lebih baik serta maju di berbagai aspek.
            Sehingga nantinya FLP terus mencetak para penulis muda yang handal di berbagai aspek. Dan meyakini bahwaka dunia kepenulisan era 70-an sekarang berada di FLP. Para pemuda yang resah akan sesuatu, tetapi di goreskan di selambar kertas, guna meyakinkan para pembaca yang minim akan bahan bacaan. Menulis dari yang resah hingga sebuah kewajiban, semakin erat dalam merubah dunia dari yang namanya pembodohan. 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.