Kapitalisme, Sosialisme dan Islam
Oleh Saratri
Wilonoyudho
Kematian Presiden
Venezuela Hugo Chavez yang ditangisi jutaan rakyatnya menunjukkan (barangkali)
ada sesuatu yang pantas diteladani darinya. Dia adalah salah satu tokoh di
jaman moderen yang namanya dapat
disejajarkan dengan para pemimpin di jaman dahulu yang memiliki kharisma luar
biasa. Dunia mencatat
tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne
d’Arc, Kwame Nkrumah, Sukarno, dan seterusnya. Mereka bukan sekadar pejabat,
namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan,
keadilan, kesejahteraan. Demikian pula Chavez,
nampaknya dia bukan tipe pemimpin yang sujud syukur ketika memenangkan
pemilihan presiden, namun justru menangis karena dalam hatinya ragu, apakah ia
bisa mensejahterakan rakyat yang mempercayainya?
Di bawah kepemimpinannya,
kekayaan alam Venezuela yang dulu banyak dikuasai Barat, dinasionalisasikan.
Hasilnya luar biasa,
cadangan minyak negaranya mencuat menjadi 298 miliar barrel, dan menggungguli
Arab Saudi yang hanya 290 miliar barrel. Dengan kekayaan minyaknya, Chavez
membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Padanan Chavez di masa modern
ini adalah Presiden Iran Ahmadinejad. Dia juga presiden yang santun. Pernah
satu kali kamera TV memergoki jas yang ia pakai ternyata sobek di bagian
ketiaknya. Dia sosok presiden yang tidak mau menerima gaji dari negara.
Sebelumnya Menlu AS
Henry Kissinger, juga memutuskan menjadi pengarang buku ketika lengser dari
jabatannya. Untuk apa? Untuk membayar utang, katanya. Ketika menjabat dia banyak
menghabiskan uang untuk keperluan sosial, sementara gajinya sebagai menteri
luar negeri AS tidak mencukupinya. Akibatnya, kini ia harus hidup sederhana. Kisah yang sama juga
dialami John Gorton, mantan PM Australia
(1968-1971) ini jadi bintang iklan General Motors di TV. Rakyat Australia
banyak yang marah dan mencibir, tapi Gorton tenang saja: “Lebih baik begini
daripada duduk sebagai dewan direksi yang belum tentu halal”.
Tebaran contoh-contoh
pemimpin dunia tersebut menunjukkan bahwa jika seluruh tenaga dan pikirannya
ditujukan untuk rakyat, maka ia akan banyak dikenang dan mampu menggerakkan
rakyatnya. Prof. Soepomo pernah memperkenalkan istilah negara integralistik,
yang intinya mestinya tidak akan ada perbedaan pandangan antara negara (pemerintah penyelenggara
negara) dengan rakyat, karena penyelenggara negara itu atas nama rakyat.
Karenanya, pemerintah mestinya seorang pemimpin yang sejati adalah sosok yang
mampu menjadi penunjuk ke arah cita-cita bersama yang adil. Dengan demikian ada
keseimbangan antaramakrokosmos dan mikrokosmos, serta ada kemanunggalan antara
“kawulo” dan “gusti”.
Dalam Pembukaan UUD 45,
para Founding Fathers dengan jelas merumuskan: “Negara berdiri atas berkat
rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya
berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dari konstruksi rumusan
tersebut nampak bahwa Negara bukan perjanjian antarindividu (apalagi partai
politik) atau perjanjian timbal balik (vertrag), namun merupakan sebuah
kesepakatan satu tujuan (gesamt-akt). Akibat lebih jauh, dalam pengertian
tersebut tidak ada yang namanya “pemerintah” dan “yang diperintah”, namun yang
ada hanyalah rakyat dan “penyelenggara negara atas nama rakyat”.
Penyelenggara negara
atau pemimpin sejati mesti rajin memeriksa denyut nadi masyarakat yang
“mempekerjakannya” sebagai pemimpin, dan di ujungnya pemimpin harus memberi
bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Agar rakyat
dapat digerakkan, harus tidak ada perbedaan yang berarti antara cita-cita
rakyat dengan cita-cita para pemimpin.
Sosialisme
Kembali kepada Chavez,
konon ia juga dikaitkan dengan kaum sosialis yang sangat dibenci Barat. Bahkan
ada khabar kematiannya diracun oleh AS. Sosialisme adalah paham yang mencoba
mengoreksi paham kapitalisme yang lebih dahulu lahir. Kalau kapitalisme lebih
dikonotasikan keserakahan, karena alat-alat produksi bebas dikuasai segelintir
orang, maka sosialisme ingin mengoreksi dengan jalan menguasai sarana-sarana
produksi serta pembagian hasil produksi secara merata. Dalam sistem kapitalisme
pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya.
Kata Adam Smith, nanti akan ada invisible hand atau tangan-tangan yang tak
kelihatan dalam menertibkan pasar. Namun kenyataannya, pemerintah pun tidak dapat melakukan
intervensi pasar. Justru pemerintah, seringkali berada dalam pusaran “calo”
kapitalisme inti, baik untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan
melanggengkan kekuasaan.
Penguasaan sumberdaya
alam, relokasi pabrik, dan praktek-praktek perdagangan selalu dikontrol dari
pusat kapitalisme inti. Keuntungan dan sumber-sumber kekayaan disedot
habis-habisan ke mereka, sementara rakyat berada dalam posisi marginal.
Karenanya, pusat kapitalisme inti selalu campur tangan dalam setiap pemilihan
kepala negara. Untuk melemahkan satu negara banyak cara yang mereka tempuh,
tergantung “kebudayaan kekuasaan” suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang
pemerintahnya lembek akan mudah di brain washing, lewat serbuan media massa,
intel-intel yang memecah belah bangsa, bahkan konon ada lembaga internasional
yang tugasnya “mbujuki” para pejabatnya untuk doyan korupsi. Tujuannya agar ada
posisi tawar dan lemah pemerintahannya. Kasus sapi impor, Century, jatuhnya
Bung Karno, dst jelas terkait dengan kapitalisme inti. Lewat diplomasi kebudayaan
pun, Barat mampu menguasai kita, lewat restoran cepat saji, gaya hidup, budaya
ngepop,dst. Dalam perjalanannya,
ternyata kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme memakan banyak korban. Ide
utama kapitalisme seperti “modernisasi”, “pertumbuhan”, “efisiensi”,
“beranak-pinaknya modal”, “teknologi”, dst, banyak membawa korban karena adanya
kesenjangan sosial, ketidakmerataan, kemiskinan, baik karena monopoli,
oligopoli, dst, sampai akibat stabilitas politik yang sangat ketat.
Sebaliknya dalam
ideologi sosialisme ide “revolusi” perjuangan kelas, juga banyak membawa korban
manusia. Janji masa depan yang cerah yang bakal terjadi, dibayar dengan
penderitaan, teror, dan perang. Janji Kedua ideologi itu hanya mitos semata dan
tidak ada bukti sama sekali. Peter L. Berger berpendapat harus ada usaha
demitologisasi, agar ada cara pandang yang baru dan akan memungkinkan suatu
pendekatan yang realistis dalam pengambilan kebijaksanaan politik. Mestinya dalam setiap
pembangunan, terlepas dari ideologinya, harus ada partisipasi. Setidaknya ada
dua imperatif etis, yaitu bahwa manusia berhak atas partisipasi, dan manusia
juga berhak berpartisipasi yang mencakup segi kognitif. Jadi, manusia berhak
untuk ikut serta dalam menafsirkan dan memaknakan dunia dan kenyataan yang ia
hadapi. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka tak pelak lagi bahwa pembangunan
akan sangat berjarak dengan manusianya. Artinya rakyat hanyalah sekadar sasaran
kebijakan politik, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi,
bukan saja dalam mengambil keputusan-keputusan khusus, tetapi juga dalam
merumuskan definisi-definisi situasi yang merupakan dasar dalam mengambil
keputusan-keputusan tadi, partisipasi ini bisa disebut partisipasi koginitif.”
Kritik yang lain dating
dari Andre Gunder Frank. Dalam bukunya yang
diberi label Capitalism and Underdevelopment in Latin America, ia
percaya bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor
yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang yang terus
mengembangkan keterbelakangan di masa sekarang. Dengan demikian,
keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga
karena masyarakat itu kurang modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses
ekonomi, politik dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem
kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran — yang oleh Frank
disebut sebagai negara satelit — adalah akibat langsung dari terjadinya
pembangunan di negara-negara pusat yang
disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan Negara-negara satelit.
Bagaimana Islam?
Dalam pandangan saya,
kesalahan ideologi kapitalisme dan sosialisme dapat dikoreksi oleh “ideologi”
Islam. Letak kesalahan kedua ideologi itu karena tidak menempatkan Allah SWT
sebagai hal yang primer. Dalam ajaran Islam, mencari harta bukan tujuan namun
akibat dari kerja keras (jihad). Dengan kata lain, dalam Islam silakan jadi
”kapitalis”, namun itu bukan tujuanmu. Justru manusia diturunkan untuk menjadi
khalifah yang memanajemen alam semesta, namun semua harus kembali kepadaNya.
Bekerja keras justru
dianjurkan, dan pasti Allah akan memberikan ”bonus” berupa harta. Namun Allah
juga mengajarkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya yang
sejati, yakni Allah SWT. Bagaimana caranya? Allah sudah memberi metode, yakni
manusia diperintahkan membayar zakat. Dengan kata lain, bekerja keras itu
justru untuk memayu hayuning bawono, dan bukan untuk kepentingan pribadi.
Logikanya, semakin bekerja keras, akan semakin banyak hartanya, dan akan
semakin sejahtera pula alam sekitarnya karena ada distribusi yang lebih banyak.
Ini adalah metode dialektika yang sangat indah.
Zakat juga tidak
dibatasi oleh aturan “fiqh” belaka yang hanya 2,5% itu, namun Allah
menganjurkan manusia untuk menggunakan akal dan nuraninya, bahwa aturan itu
hanya sekadar metode “teatrikal”. Dalam hal ini Allah sudah menyebut dan
menjanjikan bahwa derajad manusia hanya diukur dari ketaqwaannya. Kalau manusia
sudah sampai ke tataran taqwa, maka ia tidak lagi bekerja pada tataran akal dan
hukum fiqh belaka, namun hati. Ia pasti tidak akan terpaku pada angka 2,5%,
namun bisa jadi 10%, bahkan 90% hartanya dizakatkan. Dalam ajaran ini seakan
manusia diperintahkan agar hobby-nya “mengejar harta” yang tidak untuk
dinikmati secara pribadi, namun dikembalikan kepada Allah lagi.
Ideologi kapitalisme
baru berlaku pada tataran tujuan hidup manusia yang paling dasar, dan bukan
tujuan hidup yang sejati. Tujuan mendasar terus berubah sehingga manusia tidak
akan bahagia. Kisah Michael Jackson, Mike Tyson, Elvis Presley, Whitney
Houston, dan beberapa konglomerat dunia yang mati mengenaskan, adalah bukti
bahwa harta tidak dapat membahagiakan. Jika hanya berhenti pada tujuan dasar,
maka akan semakin haus harta karena lingkungan terus berubah dan terus menuntut
untuk dipenuhinya.
Mereka belum sampai
pada tataran menggapai hidup yang sejati yang dalam Islam disebut menggabungkan
diri kepada keesaan Allah. Orang yang sudah berhasil ke arah ini, maka akan
tetap bekerja keras, namun kerja kerasnya itu ditujukan untuk Allah. Jika orang
sudah sampai tataran ini, pasti dia akan menggunakan harta yang ia cari dengan
keras itu untuk tujuan menggabungkan diri Allah. Konkretnya, pasti ia akan
membelanjakan hartanya di jalan Allah, diantaranya untuk menyantuni fakir
miskin, yatim piatu dan tujuan sosial lainnya.
Sejarah menunjukkan
bahwa pada zaman Nabi lahir, Mekkah
menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku,
yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme
yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar
ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat
dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di
Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Jelas bahwa perlawanan
terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, bukan hanya masalah teologis
belaka, namun karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh
Muhammad serta ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin
Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli
harta. Contohnya, Abu Jahal dan Abu Lahab membenci Muhammad juga bukan karena
masalah teologis, namun juga untuk merebut ”tambang emas” saat itu yakni sumber
air zamzam yang dikuasai nenek moyang Muhammad.
Dalam Islam,
“kapitalisme” yang tidak ditujukan kepada Allah wujud konkretnya adalah
menumpuk-numpuk harta. Dalam Surat Al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan:
Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang
menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa
hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali
tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).
Dalam Islam di dalam
hartanya terdapat harta orang lain. Kalau kapitalisme mengeksploitasi buruh,
dan sosialisme hendak melawannya dengan meniadakan antarkelas, maka dalam Islam
buruh itu kekasih Allah dan harus dibayar sebelum keringatnya kering. Dalam surat
Al An’amayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir atau menghisap
atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Dalam surat Al
Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: “Janganlah sebagian kamu memakan
harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa,
sedang kamu mengetahuinya”.
Islam juga menganut
“ideologi” tanpa kelas. Dalam surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: “Sesungguhnya
ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada
Ku”. Semua manusia sama derajadnya di hadapan Allah, dan yang membedakan
hanyalah taqwanya dan bukan harta bendanya. Sialnya manusia hanya menganggap
agama sebagai simbol formalisme yang dikejar lewat dogma beku dan klaim-klaim
kebenaran yang tidak membumi. Seolah-olah itulah tiket ke surga jika sudah
menjalankan ibadah mahdoh. Padahal Islam bisa “dimanfaatkan” untuk mensifati
apa saja, termasuk ideologi kapitalisme dan sosialisme.
0 komentar:
Posting Komentar