Jumat, 19 April 2013

Kapitalisme, Sosialisme dan Islam


Kapitalisme, Sosialisme dan Islam
Oleh Saratri Wilonoyudho

Kematian Presiden Venezuela Hugo Chavez yang ditangisi jutaan rakyatnya menunjukkan (barangkali) ada sesuatu yang pantas diteladani darinya. Dia adalah salah satu tokoh di jaman moderen yang  namanya dapat disejajarkan dengan para pemimpin di jaman dahulu yang memiliki kharisma luar biasa. Dunia mencatat tokoh-tokoh seperti Mahatma Gandhi, Kemal Ataturk, Napoleon Bonaparte, Jeanne d’Arc, Kwame Nkrumah, Sukarno, dan seterusnya. Mereka bukan sekadar pejabat, namun pemimpin yang membawa perubahan besar bagi perjuangan menuju kemerdekaan, keadilan, kesejahteraan. Demikian pula Chavez, nampaknya dia bukan tipe pemimpin yang sujud syukur ketika memenangkan pemilihan presiden, namun justru menangis karena dalam hatinya ragu, apakah ia bisa mensejahterakan rakyat yang mempercayainya?    

Di bawah kepemimpinannya, kekayaan alam Venezuela yang dulu banyak dikuasai Barat, dinasionalisasikan.
Hasilnya luar biasa, cadangan minyak negaranya mencuat menjadi 298 miliar barrel, dan menggungguli Arab Saudi yang hanya 290 miliar barrel. Dengan kekayaan minyaknya, Chavez membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat. Padanan Chavez di masa modern ini adalah Presiden Iran Ahmadinejad. Dia juga presiden yang santun. Pernah satu kali kamera TV memergoki jas yang ia pakai ternyata sobek di bagian ketiaknya. Dia sosok presiden yang tidak mau menerima gaji dari negara.

Sebelumnya Menlu AS Henry Kissinger, juga memutuskan menjadi pengarang buku ketika lengser dari jabatannya. Untuk apa? Untuk membayar utang, katanya. Ketika menjabat dia banyak menghabiskan uang untuk keperluan sosial, sementara gajinya sebagai menteri luar negeri AS tidak mencukupinya. Akibatnya, kini ia harus hidup sederhana. Kisah yang sama juga dialami  John Gorton, mantan PM Australia (1968-1971) ini jadi bintang iklan General Motors di TV. Rakyat Australia banyak yang marah dan mencibir, tapi Gorton tenang saja: “Lebih baik begini daripada duduk sebagai dewan direksi yang belum tentu halal”.
Tebaran contoh-contoh pemimpin dunia tersebut menunjukkan bahwa jika seluruh tenaga dan pikirannya ditujukan untuk rakyat, maka ia akan banyak dikenang dan mampu menggerakkan rakyatnya. Prof. Soepomo pernah memperkenalkan istilah negara integralistik, yang intinya mestinya tidak akan ada perbedaan pandangan  antara negara (pemerintah penyelenggara negara) dengan rakyat, karena penyelenggara negara itu atas nama rakyat. Karenanya, pemerintah mestinya seorang pemimpin yang sejati adalah sosok yang mampu menjadi penunjuk ke arah cita-cita bersama yang adil. Dengan demikian ada keseimbangan antaramakrokosmos dan mikrokosmos, serta ada kemanunggalan antara “kawulo” dan “gusti”.

Dalam Pembukaan UUD 45, para Founding Fathers dengan jelas merumuskan: “Negara berdiri atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan didorong oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas”. Dari konstruksi rumusan tersebut nampak bahwa Negara bukan perjanjian antarindividu (apalagi partai politik) atau perjanjian timbal balik (vertrag), namun merupakan sebuah kesepakatan satu tujuan (gesamt-akt). Akibat lebih jauh, dalam pengertian tersebut tidak ada yang namanya “pemerintah” dan “yang diperintah”, namun yang ada hanyalah rakyat dan “penyelenggara negara atas nama rakyat”.
Penyelenggara negara atau pemimpin sejati mesti rajin memeriksa denyut nadi masyarakat yang “mempekerjakannya” sebagai pemimpin, dan di ujungnya pemimpin harus memberi bentuk (gestaltung) kepada rasa keadilan dan cita-cita rakyat. Agar rakyat dapat digerakkan, harus tidak ada perbedaan yang berarti antara cita-cita rakyat dengan cita-cita para pemimpin.

Sosialisme

Kembali kepada Chavez, konon ia juga dikaitkan dengan kaum sosialis yang sangat dibenci Barat. Bahkan ada khabar kematiannya diracun oleh AS. Sosialisme adalah paham yang mencoba mengoreksi paham kapitalisme yang lebih dahulu lahir. Kalau kapitalisme lebih dikonotasikan keserakahan, karena alat-alat produksi bebas dikuasai segelintir orang, maka sosialisme ingin mengoreksi dengan jalan menguasai sarana-sarana produksi serta pembagian hasil produksi secara merata. Dalam sistem kapitalisme pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Kata Adam Smith, nanti akan ada invisible hand atau tangan-tangan yang tak kelihatan dalam menertibkan pasar. Namun kenyataannya,  pemerintah pun tidak dapat melakukan intervensi pasar. Justru pemerintah, seringkali berada dalam pusaran “calo” kapitalisme inti, baik untuk kepentingan pribadi atau untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan.

Penguasaan sumberdaya alam, relokasi pabrik, dan praktek-praktek perdagangan selalu dikontrol dari pusat kapitalisme inti. Keuntungan dan sumber-sumber kekayaan disedot habis-habisan ke mereka, sementara rakyat berada dalam posisi marginal. Karenanya, pusat kapitalisme inti selalu campur tangan dalam setiap pemilihan kepala negara. Untuk melemahkan satu negara banyak cara yang mereka tempuh, tergantung “kebudayaan kekuasaan” suatu bangsa. Bangsa-bangsa yang pemerintahnya lembek akan mudah di brain washing, lewat serbuan media massa, intel-intel yang memecah belah bangsa, bahkan konon ada lembaga internasional yang tugasnya “mbujuki” para pejabatnya untuk doyan korupsi. Tujuannya agar ada posisi tawar dan lemah pemerintahannya. Kasus sapi impor, Century, jatuhnya Bung Karno, dst jelas terkait dengan kapitalisme inti. Lewat diplomasi kebudayaan pun, Barat mampu menguasai kita, lewat restoran cepat saji, gaya hidup, budaya ngepop,dst. Dalam perjalanannya, ternyata kedua ideologi kapitalisme dan sosialisme memakan banyak korban. Ide utama kapitalisme seperti “modernisasi”, “pertumbuhan”, “efisiensi”, “beranak-pinaknya modal”, “teknologi”, dst, banyak membawa korban karena adanya kesenjangan sosial, ketidakmerataan, kemiskinan, baik karena monopoli, oligopoli, dst, sampai akibat stabilitas politik yang sangat ketat.

Sebaliknya dalam ideologi sosialisme ide “revolusi” perjuangan kelas, juga banyak membawa korban manusia. Janji masa depan yang cerah yang bakal terjadi, dibayar dengan penderitaan, teror, dan perang. Janji Kedua ideologi itu hanya mitos semata dan tidak ada bukti sama sekali. Peter L. Berger berpendapat harus ada usaha demitologisasi, agar ada cara pandang yang baru dan akan memungkinkan suatu pendekatan yang realistis dalam pengambilan kebijaksanaan politik. Mestinya dalam setiap pembangunan, terlepas dari ideologinya, harus ada partisipasi. Setidaknya ada dua imperatif etis, yaitu bahwa manusia berhak atas partisipasi, dan manusia juga berhak berpartisipasi yang mencakup segi kognitif. Jadi, manusia berhak untuk ikut serta dalam menafsirkan dan memaknakan dunia dan kenyataan yang ia hadapi. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka tak pelak lagi bahwa pembangunan akan sangat berjarak dengan manusianya. Artinya rakyat hanyalah sekadar sasaran kebijakan politik, sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi, bukan saja dalam mengambil keputusan-keputusan khusus, tetapi juga dalam merumuskan definisi-definisi situasi yang merupakan dasar dalam mengambil keputusan-keputusan tadi, partisipasi ini bisa disebut partisipasi koginitif.”

Kritik yang lain dating dari Andre Gunder Frank. Dalam bukunya yang  diberi label Capitalism and Underdevelopment in Latin America, ia percaya bahwa kapitalisme, baik yang global maupun yang nasional, adalah faktor yang telah menghasilkan keterbelakangan di masa lalu dan yang yang terus mengembangkan keterbelakangan di masa sekarang. Dengan demikian, keterbelakangan bukan suatu kondisi alamiah dari sebuah masyarakat. Bukan juga karena masyarakat itu kurang modal. Keterbelakangan merupakan sebuah proses ekonomi, politik dan sosial yang terjadi sebagai akibat globalisasi dari sistem kapitalisme. Keterbelakangan di negara-negara pinggiran — yang oleh Frank disebut sebagai negara satelit — adalah akibat langsung dari terjadinya pembangunan di negara-negara pusat  yang disebutnya sebagai negara-negara metropolis dan Negara-negara satelit.

Bagaimana Islam?

Dalam pandangan saya, kesalahan ideologi kapitalisme dan sosialisme dapat dikoreksi oleh “ideologi” Islam. Letak kesalahan kedua ideologi itu karena tidak menempatkan Allah SWT sebagai hal yang primer. Dalam ajaran Islam, mencari harta bukan tujuan namun akibat dari kerja keras (jihad). Dengan kata lain, dalam Islam silakan jadi ”kapitalis”, namun itu bukan tujuanmu. Justru manusia diturunkan untuk menjadi khalifah yang memanajemen alam semesta, namun semua harus kembali kepadaNya.
Bekerja keras justru dianjurkan, dan pasti Allah akan memberikan ”bonus” berupa harta. Namun Allah juga mengajarkan bahwa harta itu harus dikembalikan kepada pemiliknya yang sejati, yakni Allah SWT. Bagaimana caranya? Allah sudah memberi metode, yakni manusia diperintahkan membayar zakat. Dengan kata lain, bekerja keras itu justru untuk memayu hayuning bawono, dan bukan untuk kepentingan pribadi. Logikanya, semakin bekerja keras, akan semakin banyak hartanya, dan akan semakin sejahtera pula alam sekitarnya karena ada distribusi yang lebih banyak. Ini adalah metode dialektika yang sangat indah.
Zakat juga tidak dibatasi oleh aturan “fiqh” belaka yang hanya 2,5% itu, namun Allah menganjurkan manusia untuk menggunakan akal dan nuraninya, bahwa aturan itu hanya sekadar metode “teatrikal”. Dalam hal ini Allah sudah menyebut dan menjanjikan bahwa derajad manusia hanya diukur dari ketaqwaannya. Kalau manusia sudah sampai ke tataran taqwa, maka ia tidak lagi bekerja pada tataran akal dan hukum fiqh belaka, namun hati. Ia pasti tidak akan terpaku pada angka 2,5%, namun bisa jadi 10%, bahkan 90% hartanya dizakatkan. Dalam ajaran ini seakan manusia diperintahkan agar hobby-nya “mengejar harta” yang tidak untuk dinikmati secara pribadi, namun dikembalikan kepada Allah lagi.
Ideologi kapitalisme baru berlaku pada tataran tujuan hidup manusia yang paling dasar, dan bukan tujuan hidup yang sejati. Tujuan mendasar terus berubah sehingga manusia tidak akan bahagia. Kisah Michael Jackson, Mike Tyson, Elvis Presley, Whitney Houston, dan beberapa konglomerat dunia yang mati mengenaskan, adalah bukti bahwa harta tidak dapat membahagiakan. Jika hanya berhenti pada tujuan dasar, maka akan semakin haus harta karena lingkungan terus berubah dan terus menuntut untuk dipenuhinya.
Mereka belum sampai pada tataran menggapai hidup yang sejati yang dalam Islam disebut menggabungkan diri kepada keesaan Allah. Orang yang sudah berhasil ke arah ini, maka akan tetap bekerja keras, namun kerja kerasnya itu ditujukan untuk Allah. Jika orang sudah sampai tataran ini, pasti dia akan menggunakan harta yang ia cari dengan keras itu untuk tujuan menggabungkan diri Allah. Konkretnya, pasti ia akan membelanjakan hartanya di jalan Allah, diantaranya untuk menyantuni fakir miskin, yatim piatu dan tujuan sosial lainnya.

Sejarah menunjukkan bahwa  pada zaman Nabi lahir, Mekkah menjadi pusat kapitalisme, yakni terbentuk karena proses korporasi antar suku, yang menguasai dan memonopoli perdagangan kawasan Bizantium. Watak kapitalisme yang mengakumulasikan kapital dan memutarnya demi keuntungan yang lebih besar ini, berjalan melawan norma suku-suku di Semenanjung Arab pada saat itu. Akibat dari budaya kapitalisme tsb, lahirlah ketimpangan dan kesenjangan sosial di Mekkah, yakni semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin. Jelas bahwa perlawanan terhadap Muhammad oleh kaum kapitalis Mekkah, bukan hanya masalah teologis belaka, namun karena ketakutan terhadap doktrin egalitarian yang dibawakan oleh Muhammad serta ketakutan terhadap konsekuensi sosial ekonomi, dari doktrin Muhammad yang melawan segala bentuk dominasi ekonomi, pemusatan dan monopoli harta. Contohnya, Abu Jahal dan Abu Lahab membenci Muhammad juga bukan karena masalah teologis, namun juga untuk merebut ”tambang emas” saat itu yakni sumber air zamzam yang dikuasai nenek moyang Muhammad.

Dalam Islam, “kapitalisme” yang tidak ditujukan kepada Allah wujud konkretnya adalah menumpuk-numpuk harta. Dalam Surat Al Humazah ayat 1-4. Dimana dikatakan: Celakalah, azablah untuk tiap-tiap orang pengumpat dan pencela. Yang menumpuk-numpuk harta benda dan menghitung-hitungnya. Ia mengira, bahwa hartanya itu akan mengekalkannya (buat hidup di dunia). Tidak, sekali-kali tidak, sesungguhnya dia akan ditempatkan ke dalam neraka (hutamah).
Dalam Islam di dalam hartanya terdapat harta orang lain. Kalau kapitalisme mengeksploitasi buruh, dan sosialisme hendak melawannya dengan meniadakan antarkelas, maka dalam Islam buruh itu kekasih Allah dan harus dibayar sebelum keringatnya kering. Dalam surat Al An’amayat 145 mengatakan haram memakan darah yang mengalir atau menghisap atau memeras tenaga kerja orang lain untuk keuntungan dirinya. Dalam surat Al Baqarah ayat 188 dengan tegas mengatakan: “Janganlah sebagian kamu memakan harta orang lain dengan yang batil (tiada hak) dan (jangan) kamu bawa kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta orang dengan berdosa, sedang kamu mengetahuinya”.
Islam juga menganut “ideologi” tanpa kelas. Dalam surat Al Mukminun ayat 52 mengatakan: “Sesungguhnya ini, ummat kamu, ummat yang satu dan Aku Tuhanmu, sebab itu takutlah kepada Ku”. Semua manusia sama derajadnya di hadapan Allah, dan yang membedakan hanyalah taqwanya dan bukan harta bendanya. Sialnya manusia hanya menganggap agama sebagai simbol formalisme yang dikejar lewat dogma beku dan klaim-klaim kebenaran yang tidak membumi. Seolah-olah itulah tiket ke surga jika sudah menjalankan ibadah mahdoh. Padahal Islam bisa “dimanfaatkan” untuk mensifati apa saja, termasuk ideologi kapitalisme dan sosialisme.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.