DUNIA
PENULIS YOGYAKARTA
8 Desember 2009 oleh ragajiwa
M.H. Abid
Penulis, Editor, Tinggal di Yogyakarta
Dialog
on-air Jogja Realitas yang digelar Radio Eltira FM pada 23 Maret 2007 lalu
mengangkat topik “Jogja Kota Buku”. Dialog tersebut menghadirkan pihak
penerbit, distributor, dan toko buku—pihak yang dianggap menunjang konsep Kota
Buku. Sayang, selain tidak dihadirkan, pihak penulis dan dunia kepenulisan di
Yogyakarta tidak disinggung dalam dialog itu. Apakah penulis dan dunia
kepenulisan bukan unsur penunjang Kota Buku? Atau apakah Yogyakarta tidak
menunjang bagi tumbuh dan berkembangnya dunia penulisan?
Tentu
saja tidak. Bisa dikata justru penulis dan dunia penulisan adalah unsur
terpenting industri perbukuan. Dan di Yogyakarta dunia penulisan juga tumbuh
subur, barangkali tersubur ketimbang daerah lain di Indonesia. Ini bisa dilihat
di sejumlah media massa nasional, banyak penulis yang mempublikasikan
tulisannya di sana berasal atau berdomisili di Yogyakarta.
Demikian
pula, dalam diskusi Eltira Bookshelf yang digelar Eltira FM pada 26 Maret 2007
lalu yang membedah buku kumpulan cerpen Loktong (cina: Pelacur), penulis
terbanyak di buku tersebut berasal dari Yogyakarta. Loktong adalah kumpulan
cerpen pemenang lomba penulisan cerpen pemuda nasional yang digelar oleh
Creative Writing Institute (CWI) dan Kementerian Pemuda dan Olahraga pada
penghujung tahun 2006. Tidak hanya penulis Yogya yang terbanyak masuk nominasi
dibanding penulis kota lain, di akhir buku itu dicantumkan nama-nama peserta
yang berpartisipasi dalam lomba tersebut. Dan, peserta terbanyak tersebut
berasal dari Yogyakarta.
Yogyakarta
sejak lama memang menjadi kota tempat bersemayamnya banyak penulis, tidak hanya
tingkat nasional bahkan juga dunia. Secara serampangan kita bisa menyebutkan
nama-nama seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, Mukti Ali, Emha Ainun Nadjib, Y.B.
Mangunwijaya, Sindhunata, dan masih banyak lagi. Penyair sekaligus wartawan F.
Rahardi pernah menyebutkan bahwa pada 1970-an Yogyakarta merupakan kota
terbanyak melahirkan penyair. Pada 1960 hingga 1970-an tercatat Rendra,
Kirjomulyo, Darmanto Yatman, dan Sapardi Djoko Damono pernah tinggal di
Yogyakarta.
Masihkah
Yogyakarta sekarang melahirkan penulis-penulis seperti tahun-tahun 1970-an?
Seperti telah disebutkan, jika mereka yang menulis di media massa, dan jika ini
bisa dijadikan parameter, jawabannya adalah masih. Kata kuncinya adalah
regenerasi. Yogyakarta bisa dikata merupakan laboratorium regenerasi
kepenulisan di negeri ini. Beberapa tahun terakhir, kita mencatat
penulis-penulis baru yang lahir dari rahim Yogyakarta antara lain Indra
Tranggono, Agus Noor, Puthut EA., Eka Kurniawan, Dwicipta, dll.
Saya
melihat, regenerasi tersebut berhasil sukses hingga Yogyakarta tak pernah habis
melahirkan penulis baru karena beberapa faktor. Pertama, iklim akademis yang
mendukung. Yogyakarta dikenal sebagai kota pendidikan, dengan ratusan sekolah dan
perguruan tinggi tersebar di sini. Salah satu faktor yang dekat dengan dunia
pendidikan adalah dunia tulis-menulis.
Memang,
beberapa waktu lalu di Kompas Yogyakarta pernah diperdebatkan tentang
sedikitnya karya-karya “bermutu” yang diterbitkan. Kalau sebelumnya penerbitan
Yogyakarta dikenal sebagai penerbit buku “berat”, beberapa tahun belakangan
berubah menjadi penerbit buku “kacangan” berselera pasar. Ketiadaan naskah dari
akademisi dituding sebagai penyebab, yang kemudian dijawab wakil akademisi akibat
dari iklim dunia akademik yang tidak kondusif. Namun demikian, kedekatan dunia
kampus dengan dunia tulis-menulis tidak terbantahkan.
Salah
satu bukti kedekatan itu adalah adanya lembaga pers mahasiswa (LPM). LPM adalah
lembaga di mana mahasiswa bisa berlatih menulis, meliput berita, dan mengelola
penerbitan. Fakta lain yang tak terbantahkan adalah bahwa dunia penerbitan
Yogyakarta banyak lahir dari mereka yang semasa mahasiswa aktif di LPM. Namun
disayangkan, menurut penelitian Nuraini Juliastuti (2005), kalau sebelum
Reformasi pers kampus diliputi suasana kekritisan (terhadap kekuasaan),
pasca-Reformasi banyak pers kampus lahir sebagai bagian dari gaya hidup
(life-style).
Kedua,
regenerasi dan lahirnya penulis-penulis baru juga berkat banyaknya komunitas-komunitas
menulis di Yogyakarta. Di kota ini terdapat komunitas menulis seperti Rumah
Lebah, Rumah Poetika, Kajian Jumat Sore, Bulaksumur, Tanda Baca, serta dulu ada
Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Komunitas-komunitas ini terbukti
melahirkan banyak penulis berbakat. AKY misalnya antara lain melahirkan Eka
Kurniawan dan Puthut EA., sementara Rumah Lebah terbukti menelurkan Raudal
Tanjung Banua dan Sunlie Thomas Alexander.
Menulis
memang aktifitas soliter, yang pada akhirnya dikerjakan sendiri. Namun kehadiran
komunitas setidaknya berfungsi sebagai tempat diskusi, saling menyemangati,
saling kritik, serta yang terpenting menyediakan beragam bacaan (entah dengan
membeli bersama atau saling pinjam). Sayang komunitas-komunitas tersebut sering
tidak mendapat dukungan (baca: kurang dana) untuk berbuat lebih. Sebagai misal,
sewaktu Rumah Poetika beberapa waktu lalu mengadakan Forum Penyair Empat Kota,
mereka terpaksa menyelenggarakannya secara “pontang-panting” karena tidak
banyak mendapat dukungan dana, padahal mereka membawa nama sebagai wakil dari
Yogyakarta.
Ketiga,
hubungan sesama penulis di Yogyakarta yang lebih cair dan mesra.
Senioritas-yunioritas, kalau harus disebut demikian, bukan halangan untuk
saling berbagi dan berbincang. Yang senior membimbing yang yunior, sementara
yang yunior menghormati yang lebih senior. Ini yang tidak terdapat di kota
lain. Sewaktu saya menghadiri peluncuran buletin sebuah komunitas menulis di
Solo bulan lalu, banyak teman di sana yang mengeluhkan tidak adanya hubungan
harmonis sebagaimana di Yogya. Di sana, yang senior berjalan sendiri, bahkan
kemudian tidak betah dengan iklim seperti itu dan berpindah ke kota lain.
Sebagai
turunan dari pembimbingan dari yang senior tadi, keempat, lahir kemudian
penulis senior yang menjadi semacam “guru”, karena dia memang tiada kenal lelah
memberikan bimbingan kepada yang yunior. Pada 1960 hingga 1970-an, di Yogya
yang dianggap sebagai “guru” menulis adalah penyair Umbu Landu Paranggi. Meski
tidak pernah mengklaim diri demikian, tapi beberapa penulis seperti Emha Ainun
Nadjib, Linus Suryadi AG., Korrie Layun Rampan, Iman Budi Santosa
menahbiskannya sebagai “guru” mereka.
Namun,
pascapindahnya Umbu ke Bali pada 1975, Yogyakarta seperti kehilangan “guru”
yang serius membina yuniornya seperti dia. Beberapa tahun setelahnya, nama Umbu
sang “Presiden Malioboro” hanya jadi kenangan sebagai pengharum dunia penulisan
Yogyakarta, tanpa pernah menemukan penggantinya.
Baru
pada akhir 1990-an muncul “Gus” Zainal Arifin Thoha. Namanya mungkin jauh dari
publisitas, tapi perannya dalam memajukan dunia penulisan terutama di pesantren
tidak bisa dikata kecil. Beberapa penulis seperti Joni Ariadinata dan Muhidin
M. Dahlan menyebut dia sebagai “guru” menulis mereka. Gus Zainal mendirikan
pesantren Hasyim Asy’ari dan lembaga penulisan Kutub di bilangan Krapyak,
Bantul. Kutub pada tahun-tahun terakhir cukup dikenal di jagad penulisan
Yogyakarta.
Namun,
takdir ternyata punya logikanya sendiri. Kalau beberapa kalangan seperti Shiho
Sawai, peneliti komunitas sastra di Yogyakarta asal Jepang, menyebut Gus Zainal
sebagai penerus Umbu, sang penerus itu ternyata lebih cepat mendahului yang
digantikan. Pada Maret 2007 lalu Gus Zainal menghadap Sang Pencipta. Siapa
pengganti guru penulis Yogya pasca Umbu dan Gus Zainal?
Demikianlah
di antara faktor yang menyebabkan proses regenerasi penulis Yogya terus
berlangsung hingga kini. Penulis dan dunia kepenulisan tentu tidak bisa
diabaikan sebagai penyokong Kota Buku, tidak hanya penerbit, distributor, dan
toko buku. Sinergi antara penulis dan penerbit setidaknya harus terbangun.
Memang, selama ini, dengan sifatnya yang “kecil”, penerbitan Yogya terkadang
abai dengan hak-hak penulis, sehingga menyebabkan penulis Yogya yang sudah
dikenal memercayakan penerbitan karyanya pada penerbit luar Yogya. Namun,
penulis juga harus berterima kasih kepada penerbitan seperti itu, karena
merekalah yang paling berani mengambil risiko ketika sang penulis belum menjadi
siapa-siapa.
0 komentar:
Posting Komentar