Selasa, 16 April 2013

PERSADA STUDI KLUB DAN SEJARAH SASTRA YOGYA


PERSADA STUDI KLUB DAN SEJARAH SASTRA YOGYA
8 Desember 2009 oleh ragajiwa
Oleh :
Iman Budhi Santosa
Penyair


Dicatat atau tidak, diakui atau tidak, pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogya (dan juga daerah-daerah lain di Tanah Air kita) tentu memiliki spesifikasinya masing-masing. Misalnya, dinamika serta dialektika kehidupan sastra Indonesia di Jakarta akan tidak sama dengan apa yang terjadi di Bandung, Yogya, Semarang, Surabaya, Madura, Bali. Karena setiap daerah mempunyai latar belakang sosial budaya sendiri-sendiri, yang langsung maupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap sikap perilaku, cita-cita, orientasi, visi, gaya hidup para sastrawan yang berdomisili di sana.
Tragika ketakpedulian terhadap nilai prestasi serta jejak-tapak yang telah diperbuat di rumah sendiri, semakin tampak nyata di seputar sejarah keberadaan Persada Studi Klub (PSK). Komunitas penyair (sastrawan) muda di Malioboro tahun 1969-1977, dengan ‘’presidennya’’ Umbu Landu Paranggi dan media berkreasinya Mingguan Pelopor Yogya di jalan Malioboro 175 atas (balkon lantai dua).
Persoalannya, hingga kini, lebih 25 th setelah komunitas itu mati, legenda PSK masih tetap hidup. Setiap membicarakan proses kreatif, sejarah kesastraan Yogya, persahabatan seniman, patron-patron yang dikagumi, etos asah-asih-asuh antar generasi, selalu saja fenomena PSK disangkut-pautkan.
Sementara, mereka yang pernah benar-benar mengalami proses ‘’menggelandang’’ di Malioboro itu, kadang malah merendah jika diminta komentarnya. Ada yang menyatakan sekadar menyalurkan hobi, mencari teman, melepaskan diri dari ketegangan keluarga dan lingkungan, menimba pengalaman sambil kuliah, dan masih banyak lagi.

Mengisi Waktu
Namun, jika benar bergalang-gulung di PSK waktu itu semata-mata ‘’mengisi waktu luang’’, mengapa banyak di antara mereka tetap berprofesi sebagai sastrawan (penulis) maupun jurnalis sampai saat ini? Berdasarkan pengamatan kasar, puluhan penulis yang masih setia hidup di Yogya serta yang bekerja di lain kota dan usianya antara 45 s/d 58 th pernah merasakan ‘’sukma’’ PSK dan Malioboro. Suka atau tak suka, mereka telah memberikan sumbangsihnya terhadap sastra Indonesia. Sekecil apapun prestasi mereka, mereka sudah menjadi bagian dari pilar penyangga kesastraan kita, baik di Yogya maupun Indonesia.
Nah, jika demikian halnya, bukankah PSK jadi mirip semacam ‘’komunitas pendidikan kesastraan’’ non formal yang pernah lahir di Tanah Air kita? Seorang novelis dan cerpenis produktif di Yogya yang ‘’alumi’’ PSK pernah menyatakan dengan tegas, bahwa kecintaan dan semangat profesionalitas kepenulisannya justru dimulai dan terasah sejak bergabung dengan PSK. Seorang jurnalis (eks PSK) yang sampai kini belum pernah ganti profesi, sempat pula menyatakan hal yang sama. Bakat sastra dan jurnalismenya berhasil dipadukan setelah ikut berproses sekian lama di Malioboro.
Meskipun realitasnya PSK pernah membuahkan hasil-hasil positif pada zamannya, namun kisah sejarah komunitas itu sekarang tinggal menjadi ‘’buah bibir’’ para pelakunya. Kadang ditambah, kadang dikurangi. Benar-benar sangat dipengaruhi sudut pandang dan visi penuturnya. Mungkin tak dibayangkan, bahwa akibat penuturan yang asal-asalan tersebut nilai komunitas itu akan semakin kabur. Bahkan, belakangan semakin difahami sebagai mitos. Konon, pernah ada, namun tak jelas duduk persoalannya. Dan gara-gara tak jelas itu, untuk apa dibicarakan lagi? Apa manfaatnya bagi kekinian?

Kesejarahan Sastra
Terlepas perlu tidaknya kisah sejarah PSK (dan fenomena kesejarahan sastra lainnya) bagi orang-orang tua eks PSK, namun pada hakikatnya merangkum kembali seluk-beluk komunitas yang eksis hampir 10 tahun di Yogya itu tetap perlu. Dan justru semakin perlu ketika zaman sudah berubah. Minimal untuk menjelaskan berbagai peristiwa yang melatar belakangi kehidupan sastra, sekaligus memberikan jembatan demi jembatan yang menghubungkan masa lalu dan masa depan.
Dalam konteks mewujudkan (mengumpulkan) data-data sejarah komunitas PSK yang menjadi bagian dari sejarah sastra Yogya (dan Indonesia), tugas dan tanggung jawab itu tentunya masih menuntut turun-tangannya mereka yang menjadi pelaku di masa lalu. Sebuah kerja mulia manakala mereka bersedia mewariskan data, fakta (baik atau buruk), agar dapat dikaji dan dijadikan referensi generasi masa kini.
Khusus mengenai komunitas PSK dan Malioboro, serta iklim bersastra dekade 60/70-an, banyak pelakunya yang masih hidup dan bekerja di Yogyakarta. Seperti Ahmad Munif, Mustofa W Hasyim, Emha Ainun Najib, Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi Sarjono, Teguh Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardhana, Fauzi Absal, Arwan Tuti Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Soeparno S Adhy, dan masih banyak lagi. Kendati sekarang jalan sendiri-sendiri, besar kemungkinan mereka tetap mau kembali duduk bersama, misalnya untuk merekonstruksi ulang fakta kesejarahan sastra Yogya yang pernah mereka hayati di masa lalu.
Memang, PSK telah mati. Namun, banyak dari nilai yang mereka gali terus dibudidayakan. Seperti mengenai etos komunalisme kreatif (paguyuban kreatif). Di masa PSK, ada kalangan yang ‘’dipertuakan’’. Sering didatangi, diajak berdebat, dimintai saran. Mereka antara lain: Kuntowijoyo, Darmanto Jt, Abdul Hadi WM, Makmur Makka, Umar Kayam, dll. Belakangan semangat asah-asih-asuh di Yogya semakin terkonstruksi. Sarasehan dan diskusi penulisan meluas di mana-mana.
Tersesat
Sejarah tak ubahnya sebuah peta. Di sana pun tergambar sekian banyak legenda. Dan semua orang mengakui. Tanpa membekal peta lengkap, siapa pun akan mudah tersesat dalam perjalanan. Tentunya demikian pula halnya jika peta sastra Yogya tak pernah dibuat. Banyak orang akan kebingungan ketika memasukinya. Dan bagaimana jadinya kalau benar-benar tersesat?
Untuk sekadar contoh, sejak tahun 60-an hingga kini, ada saja penyair Yogya yang ‘’gila’’, dan (maaf) sungguh-sungguh menjadi gila (berubah ingatan). Memasuki belantara sastra Yogya tampaknya memang mudah dan menjanjikan. Namun, keliru kalau difahami sebagai perjalanan wisata. Bersastra di Yogya benar-benar memerlukan ketahanan mental dan fisik berlipat-ganda. Untuk itu, fakta kesejarahan PSK telah banyak merekamnya.
Meskipun sastrawan (penulis) eks PSK rata-rata sudah mendekati usia senja, namun tugas dan tanggung jawab kebudayaan mereka belum selesai. Jika di era 70-an berproses habis-habisan demi kepentingan pribadi, kini beban yang disandangnya justru lebih besar. Yaitu, merangkum sejarah perjalanan mereka yang menjadi bagian penting dari sejarah sastra Yogya. Membiarkan aspek-aspek kesejarahan itu tenggelam dan dilupakan, sama halnya menciptakan jurang pemisah yang maha dalam antara generasi masa lalu dan masa kini.
Karena itulah, tak ada kata terlambat. Meski sudah tersimpan berdebu 25 th, arsip kesejarahan itu tetap perlu dimunculkan ke permukaan. Agar sekaligus dapat dijadikan pemicu lahirnya sejarah sastra Yogya yang lebih besar. Bisa jadi mereka dapat mengadakan semacam ‘’reuni’’. Bukan untuk kangen-kangenan saja, melainkan untuk ikut memikirkan sebuah kerja besar: Penulisan Sejarah Sastra Yogya yang layak dibukukan.
Semoga, ada di antara mereka yang terpanggil. Kemudian ikut memanggil, untuk bersama-sama mengumpulkan catatan demi catatan yang tersimpan dalam saku. Karena sejarah sastra Yogya pada hakikatnya tersimpan dan menyatu dengan sejarah kehidupan banyak orang yang pernah berada di dalamnya, serta meyakini sastra adalah ekspresi peradaban umat manusia yang perlu dan harus tetap ada di sepanjang masa. q-m

Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), 31 Agustus 2003.

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.