PERSADA
STUDI KLUB DAN SEJARAH SASTRA YOGYA
8 Desember 2009 oleh ragajiwa
Oleh :
Iman Budhi Santosa
Penyair
Dicatat atau tidak,
diakui atau tidak, pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia di Yogya (dan
juga daerah-daerah lain di Tanah Air kita) tentu memiliki spesifikasinya
masing-masing. Misalnya, dinamika serta dialektika kehidupan sastra Indonesia
di Jakarta akan tidak sama dengan apa yang terjadi di Bandung, Yogya, Semarang,
Surabaya, Madura, Bali. Karena setiap daerah mempunyai latar belakang sosial
budaya sendiri-sendiri, yang langsung maupun tidak langsung akan sangat
berpengaruh terhadap sikap perilaku, cita-cita, orientasi, visi, gaya hidup
para sastrawan yang berdomisili di sana.
Tragika ketakpedulian
terhadap nilai prestasi serta jejak-tapak yang telah diperbuat di rumah
sendiri, semakin tampak nyata di seputar sejarah keberadaan Persada Studi Klub
(PSK). Komunitas penyair (sastrawan) muda di Malioboro tahun 1969-1977, dengan
‘’presidennya’’ Umbu Landu Paranggi dan media berkreasinya Mingguan Pelopor
Yogya di jalan Malioboro 175 atas (balkon lantai dua).
Persoalannya, hingga
kini, lebih 25 th setelah komunitas itu mati, legenda PSK masih tetap hidup.
Setiap membicarakan proses kreatif, sejarah kesastraan Yogya, persahabatan
seniman, patron-patron yang dikagumi, etos asah-asih-asuh antar generasi,
selalu saja fenomena PSK disangkut-pautkan.
Sementara, mereka yang
pernah benar-benar mengalami proses ‘’menggelandang’’ di Malioboro itu, kadang
malah merendah jika diminta komentarnya. Ada yang menyatakan sekadar
menyalurkan hobi, mencari teman, melepaskan diri dari ketegangan keluarga dan
lingkungan, menimba pengalaman sambil kuliah, dan masih banyak lagi.
Mengisi Waktu
Namun, jika benar
bergalang-gulung di PSK waktu itu semata-mata ‘’mengisi waktu luang’’, mengapa
banyak di antara mereka tetap berprofesi sebagai sastrawan (penulis) maupun
jurnalis sampai saat ini? Berdasarkan pengamatan kasar, puluhan penulis yang
masih setia hidup di Yogya serta yang bekerja di lain kota dan usianya antara
45 s/d 58 th pernah merasakan ‘’sukma’’ PSK dan Malioboro. Suka atau tak suka,
mereka telah memberikan sumbangsihnya terhadap sastra Indonesia. Sekecil apapun
prestasi mereka, mereka sudah menjadi bagian dari pilar penyangga kesastraan
kita, baik di Yogya maupun Indonesia.
Nah, jika demikian
halnya, bukankah PSK jadi mirip semacam ‘’komunitas pendidikan kesastraan’’ non
formal yang pernah lahir di Tanah Air kita? Seorang novelis dan cerpenis
produktif di Yogya yang ‘’alumi’’ PSK pernah menyatakan dengan tegas, bahwa
kecintaan dan semangat profesionalitas kepenulisannya justru dimulai dan
terasah sejak bergabung dengan PSK. Seorang jurnalis (eks PSK) yang sampai kini
belum pernah ganti profesi, sempat pula menyatakan hal yang sama. Bakat sastra
dan jurnalismenya berhasil dipadukan setelah ikut berproses sekian lama di
Malioboro.
Meskipun realitasnya
PSK pernah membuahkan hasil-hasil positif pada zamannya, namun kisah sejarah
komunitas itu sekarang tinggal menjadi ‘’buah bibir’’ para pelakunya. Kadang
ditambah, kadang dikurangi. Benar-benar sangat dipengaruhi sudut pandang dan
visi penuturnya. Mungkin tak dibayangkan, bahwa akibat penuturan yang
asal-asalan tersebut nilai komunitas itu akan semakin kabur. Bahkan, belakangan
semakin difahami sebagai mitos. Konon, pernah ada, namun tak jelas duduk
persoalannya. Dan gara-gara tak jelas itu, untuk apa dibicarakan lagi? Apa
manfaatnya bagi kekinian?
Kesejarahan Sastra
Terlepas perlu tidaknya
kisah sejarah PSK (dan fenomena kesejarahan sastra lainnya) bagi orang-orang
tua eks PSK, namun pada hakikatnya merangkum kembali seluk-beluk komunitas yang
eksis hampir 10 tahun di Yogya itu tetap perlu. Dan justru semakin perlu ketika
zaman sudah berubah. Minimal untuk menjelaskan berbagai peristiwa yang melatar
belakangi kehidupan sastra, sekaligus memberikan jembatan demi jembatan yang
menghubungkan masa lalu dan masa depan.
Dalam konteks mewujudkan
(mengumpulkan) data-data sejarah komunitas PSK yang menjadi bagian dari sejarah
sastra Yogya (dan Indonesia), tugas dan tanggung jawab itu tentunya masih
menuntut turun-tangannya mereka yang menjadi pelaku di masa lalu. Sebuah kerja
mulia manakala mereka bersedia mewariskan data, fakta (baik atau buruk), agar
dapat dikaji dan dijadikan referensi generasi masa kini.
Khusus mengenai
komunitas PSK dan Malioboro, serta iklim bersastra dekade 60/70-an, banyak
pelakunya yang masih hidup dan bekerja di Yogyakarta. Seperti Ahmad Munif,
Mustofa W Hasyim, Emha Ainun Najib, Bambang Darto, Joko Passandaran, Budi
Sarjono, Teguh Ranusastra Asmara, Sutirman Eka Ardhana, Fauzi Absal, Arwan Tuti
Artha, RS Rudhatan, AY Suharyono, Suryanto Sastroatmojo, Soeparno S Adhy, dan
masih banyak lagi. Kendati sekarang jalan sendiri-sendiri, besar kemungkinan
mereka tetap mau kembali duduk bersama, misalnya untuk merekonstruksi ulang
fakta kesejarahan sastra Yogya yang pernah mereka hayati di masa lalu.
Memang, PSK telah mati.
Namun, banyak dari nilai yang mereka gali terus dibudidayakan. Seperti mengenai
etos komunalisme kreatif (paguyuban kreatif). Di masa PSK, ada kalangan yang
‘’dipertuakan’’. Sering didatangi, diajak berdebat, dimintai saran. Mereka
antara lain: Kuntowijoyo, Darmanto Jt, Abdul Hadi WM, Makmur Makka, Umar Kayam,
dll. Belakangan semangat asah-asih-asuh di Yogya semakin terkonstruksi.
Sarasehan dan diskusi penulisan meluas di mana-mana.
Tersesat
Sejarah tak ubahnya
sebuah peta. Di sana pun tergambar sekian banyak legenda. Dan semua orang
mengakui. Tanpa membekal peta lengkap, siapa pun akan mudah tersesat dalam
perjalanan. Tentunya demikian pula halnya jika peta sastra Yogya tak pernah
dibuat. Banyak orang akan kebingungan ketika memasukinya. Dan bagaimana jadinya
kalau benar-benar tersesat?
Untuk sekadar contoh,
sejak tahun 60-an hingga kini, ada saja penyair Yogya yang ‘’gila’’, dan (maaf)
sungguh-sungguh menjadi gila (berubah ingatan). Memasuki belantara sastra Yogya
tampaknya memang mudah dan menjanjikan. Namun, keliru kalau difahami sebagai
perjalanan wisata. Bersastra di Yogya benar-benar memerlukan ketahanan mental
dan fisik berlipat-ganda. Untuk itu, fakta kesejarahan PSK telah banyak
merekamnya.
Meskipun sastrawan
(penulis) eks PSK rata-rata sudah mendekati usia senja, namun tugas dan
tanggung jawab kebudayaan mereka belum selesai. Jika di era 70-an berproses
habis-habisan demi kepentingan pribadi, kini beban yang disandangnya justru
lebih besar. Yaitu, merangkum sejarah perjalanan mereka yang menjadi bagian penting
dari sejarah sastra Yogya. Membiarkan aspek-aspek kesejarahan itu tenggelam dan
dilupakan, sama halnya menciptakan jurang pemisah yang maha dalam antara
generasi masa lalu dan masa kini.
Karena itulah, tak ada
kata terlambat. Meski sudah tersimpan berdebu 25 th, arsip kesejarahan itu
tetap perlu dimunculkan ke permukaan. Agar sekaligus dapat dijadikan pemicu
lahirnya sejarah sastra Yogya yang lebih besar. Bisa jadi mereka dapat
mengadakan semacam ‘’reuni’’. Bukan untuk kangen-kangenan saja, melainkan untuk
ikut memikirkan sebuah kerja besar: Penulisan Sejarah Sastra Yogya yang layak
dibukukan.
Semoga, ada di antara
mereka yang terpanggil. Kemudian ikut memanggil, untuk bersama-sama
mengumpulkan catatan demi catatan yang tersimpan dalam saku. Karena sejarah
sastra Yogya pada hakikatnya tersimpan dan menyatu dengan sejarah kehidupan
banyak orang yang pernah berada di dalamnya, serta meyakini sastra adalah
ekspresi peradaban umat manusia yang perlu dan harus tetap ada di sepanjang
masa. q-m
Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Kedaulatan
Rakyat (Yogyakarta), 31 Agustus 2003.
0 komentar:
Posting Komentar